Nationalgeographic.co.id—Pada masa Dinasti Ming (1368-1644), tema penting dalam seni lukis adalah penggambaran wanita cantik. Penggambaran ini menunjukkan betapa perempuan dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Perempuan Tiongkok pada masa Dinasi Ming hanya dihargai karena penampilan fisiknya, aksi rendahanya, dan bakatnya yang dianggap cocok. Untuk menganalisis lukisan-lukisan wanita cantik ini, perlu diperoleh pengetahuan tentang periode waktu penciptaannya.
Penelusuran terhadap masa lalu memunculkan makna yang dihadirkan melalui simbolisme, setting, dan figur untuk mewujudkan spektrum kehidupan perempuan Tiongkok secara utuh yang terpampang di kanvas. Penaklukan terhadap perempuan akan dapat diidentifikasi dan lukisan-lukisan ini akan menandakan informasi tambahan tentang pandangan perempuan Tiongkok.
Perempuan Tiongkok dalam seni adalah bagian penting dari sejarah, membantu interpretasi tentang bagaimana mereka diperlakukan sebagai gender. Sangat penting untuk mempelajari perempuan Tiongkok dalam semua aspek sejarah untuk mengenali keseluruhan penderitaan perempuan Tiongkok dalam hidup.
Menurut peneliti sejarah seni dan seni visual di University of Wisconsin, Maura Zephier dan Gloria Eslinger, "Menganalisis lukisan Tiongkok lebih dari sekadar melihat estetika dasarnya. Simbolisme objek, tekstil, dan lingkungan sekitar sangat penting untuk memahami lukisan tertentu secara sebenarnya."
Setiap budaya dan periode waktu merefleksikan penggambaran realitas oleh seniman. Oleh karena itu, kita dapat memahami lukisan dan pemikiran senimannya dengan mempelajari sejarah budaya suatu masyarakat, tulis mereka berdua dalam sebuah makalah bertajul "The Callous Fate of Chinese Women During the Ming Dynasty—Explored Through Ostensibly Beautiful Paintings".
"Dalam hal ini, kita telah melihat mengapa sang seniman menggambarkan perempuan dengan cara yang ia lakukan dan bagian mana dari dunianya yang memengaruhi pandangannya. Demikian pula, kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kesulitan yang dihadapi perempuan dan anak perempuan karena sifat mereka yang patuh dan kemudian digambarkan dalam seni visual," jelas mereka.
Mary H. Fong, profesor seni dan sejarah seni di University of California, Davis, menulis bahwa perempuan Tionghoa dalam lukisan “harus digambarkan sebagai sosok yang cantik namun patuh, sopan dan bersahabat, tidak asertif dan menyenangkan, menyenangkan dan baik hati”
"Melalui analisis terhadap lukisan-lukisan sebelumnya, terlihat bahwa perempuan yang digambarkan itu persis seperti yang dikatakan Mary H. Fong, yaitu harus dieksekusi. Oleh karena itu, perempuan terlihat dalam lukisan yang dihasilkan oleh laki-laki karena mereka bertindak sesuai dengan aturan laki-laki pada masa Dinasti Ming," bebera mereka.
Inilah sebabnya mengapa perlu memahami realitas berbagai kesulitan gender perempuan selama periode Dinasti Ming. Bukan sekadar melihat lukisan berupa wanita cantik di atas kanvas.
Baca Juga: Obsesi Gila Jiajing, Kaisar Ming Tiongkok Peramu Darah Haid Gadis
Para peneliti menjabarkan bahwa perempuan Tiongkok diharuskan untuk tetap suci sampai dia menikah. Orang Tionghoa tidak percaya pernikahan karena ada cinta atau ikatan yang kuat.
Sebaliknya, pernikahan justru dilakukan untuk menaikkan status dan menyatukan nama kedua keluarga, dengan tujuan agar setiap orang yang terlibat mendapat manfaat. Manfaat ini diharapkan dapat meningkatkan status sosial keluarga, prospek keuangan, dan pertumbuhan garis keturunan keluarga.
Bentuk perkawinan seperti ini tidak menguntungkan perempuan Tiongkok. “Bagi perempuan, perkawinan feodal adalah belenggu di mana mereka hanya bisa mengharapkan nasib yang tidak bisa ditebak. Namun, cinta itu romantis dan indah, dan perempuan yang terjebak dalam belenggu pernikahan tetap dipenuhi kerinduan akan nikmatnya cinta."
Namun hal itu tidak akan perempuan Tiongkok dapatkan selama suami hasil perjodohan itu ada ataupun tidak. Karena bahkan setelah suaminya meninggal, perempuan Tiongkok harus tetap menjadi janda dan menjaga kesucian barunya.
Para peneliti mencatat, Dinasti Ming memiliki tingkat bunuh diri tertinggi dalam sejarah Tiongkok karena keinginan besar seorang janda untuk mematuhi hukum kesucian. Wanita pada masa Dinasti Ming tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam aktualisasi diri jika mereka ingin bertahan hidup dalam masyarakat feodal dan pernikahan terikat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR