Para peneliti menjabarkan bahwa perempuan Tiongkok diharuskan untuk tetap suci sampai dia menikah. Orang Tionghoa tidak percaya pernikahan karena ada cinta atau ikatan yang kuat.
Sebaliknya, pernikahan justru dilakukan untuk menaikkan status dan menyatukan nama kedua keluarga, dengan tujuan agar setiap orang yang terlibat mendapat manfaat. Manfaat ini diharapkan dapat meningkatkan status sosial keluarga, prospek keuangan, dan pertumbuhan garis keturunan keluarga.
Bentuk perkawinan seperti ini tidak menguntungkan perempuan Tiongkok. “Bagi perempuan, perkawinan feodal adalah belenggu di mana mereka hanya bisa mengharapkan nasib yang tidak bisa ditebak. Namun, cinta itu romantis dan indah, dan perempuan yang terjebak dalam belenggu pernikahan tetap dipenuhi kerinduan akan nikmatnya cinta."
Namun hal itu tidak akan perempuan Tiongkok dapatkan selama suami hasil perjodohan itu ada ataupun tidak. Karena bahkan setelah suaminya meninggal, perempuan Tiongkok harus tetap menjadi janda dan menjaga kesucian barunya.
Para peneliti mencatat, Dinasti Ming memiliki tingkat bunuh diri tertinggi dalam sejarah Tiongkok karena keinginan besar seorang janda untuk mematuhi hukum kesucian. Wanita pada masa Dinasti Ming tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam aktualisasi diri jika mereka ingin bertahan hidup dalam masyarakat feodal dan pernikahan terikat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR