Perhutanan Sosial (PS) hadir atas harapan akan banyak permasalahan yang mendera kelestarian hutan. Jalan tengah antara kepentingan konservasi dan ekonomi masyarakat yang mengakses hutan. Dalam pelaksanaanya, jalan panjang itu berkelok antara asa, regulasi, dan implementasi. Benarkah PS mampu menjaga fungsi hutan—bukan hanya terkait ekonomi, tetapi juga kehidupan yang lebih luas?
Oleh Titik Kartitiani
Nationalgeographic.co.id—Amir Rohimat mengendarai sepeda motor melewati jalan setapak ke perbukitan. Hamparan ilalang tanpa tegakan di tepiannya. Kemudian mulai melewati tegakan kopi yang terawat dan telah lewat masa panen pada September silam. Setelah memarkir sepeda motornya, ia menunjukkan hamparan di seberang bukit.
“Dulu di hutan itu semuanya rumput gitu. Ada kaso sama ilalang, kaso itu hampir sama tebu,” kata Amir. Ia merupakan petani kopi Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Garut, Jawa Barat,
Kawasan ini bekas wilayah konsesi PT. Perhutani. Usai diambil kayunya, lahan tak ternanami sehingga hanya menyisakan ilalang yang mudah terbakar. Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) terakhir yang mendera kawasan Gunung Rakutak, termasuk Desa Laksana terjadi pada tahun 2017, sekitar 10ha terbakar pada musim kemarau yang ganas.
Hal senada juga diungkapkan oleh oleh Karlin, Ketua LPHD (Lembaga Pengelolaan Hutan Desa) Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau juga mencemaskana adanya karhutla. Kawasan yang diajukan izin PS merupakan kawasan hutan lindung. Jika hutan lindung tidak terjaga dan terbakar, bisa merembet ke ladang karet milik desa.
“Kalau hutan gambut sudah terbakar, kita cemas kebakaran itu merembet ke kebun karet kami,” kata Karlin. Kawasan Pulang Pisau, termasuk Buntoi, didominasi oleh gambut dalam. Bila lahan gambut terbakar, pemadamannya sangat sulit sehingga sulit dibendung untuk tidak melahap ladang milik warga. Jika ladang karet mereka terbakar, butuh waktu minimal 6 tahun untuk bisa memulihkan kembali. Menanam karet hingga siap diambil getahnya.
“Kalau hutan sudah terbakar, sulit untuk diceritakan. Mengerikan sekali. Kalau sudah parah, kami hanya menjaga agar tidak masuk ke ladang dan permukiman,” kata Dodi Prayoga, Masyarakat Peduli Api, Desa Buntoi.
Kisah karhutla di Kalimantan Tengah sempat menjadi bencana nasional pada 2015. Sekitar 90.000 hektare terbakar. Menurut data penelitian IPB melalui citra satelit, karhutla di Pulang Pisau pada tahun itu didominasi tingkat keparahan tinggi, yaitu 70,18 persen (63.175 hektare). Sisanya tingkat keparahan sedang yaitu 13.775 hektare (15,30 persen) dan tingkat keparahan rendah yaitu 13.069 hektare (14,52 persen) dari total luas area terbakar.
Baca Juga: Ketika Hutan Sumatra Menjelma Perkebunan, Bagaimana Nasib Jaring Makanan?
Faktor alam kerap dituduh sebagai penyebat karhutla. Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat, 99 persen penyebab karhutla adalah manusia. Hanya 1 persen yang disebabkan oleh alam.
Karhutla merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan. Penyebab lain berupa catatan panjang tentang alih fungsi hutan baik secara legal dan ilegal. Di sinilah muncul konflik tenurial di kawasan hutan.
Konflik Kepentingan dan Cara Pandang Tentang Hutan
Mobil MPV yang menemani saya menuju Desa Dano, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat sempat terjepit di sebuah tanjakan tajam.
Hal itu belum seberapa. Trek selebar setengah meter yang saya lalui bersama Asep Amas, warga Desa Dano dan mantan logger lebih menanjak dan menikung tajam. Rasanya trek ini bukan untuk dilalui sepeda motor. Namun Asep mengendalikan kendaraan itu dengan santai.
Roda sepeda motor bebek yang dimodifikasi dengan lilitan rantai mencengkeram dengan baik tanah yang berdebu. Ia biasa memuat 2-3 kuintal kopi dengan sepeda motor ini. Jadi kalau hanya “memuat” saya yang hanya 45kg, sangat ringan. Lebih dulu lagi, ia biasa memuat kayu puluhan kubik sambil kejar-kejaran dengan Polisi Hutan (Polhut). Asep memang sudah menyatu dengan setiap inchi hutan itu.
Hutan adalah tempat bergantung hidup bagi Asep dan sebagian besar warga Desa Dano secara turun temurun. Ketika hutan tersebut termasuk wilayah pengelolaan PT. Perhutani Unit III KPH Garut, berbagai skema kerjasama dengan masyarakat dibentuk. Salah satunya, Asep diminta untuk membantu penanaman pinus dan akan dijanjikan menjadi petugas mandor. Namun bertahun kemudian, janji itu tidak terwujud.
“Nah, muncul di hati saya kalau saya enggak diangkat jadi petugas, saya bakal ngancurin di hutan,” kenang Asep. Atas dasar kekecewaan dan kebutuhan hidup, Asep pun menjarah kayu milik PT. Perhutani. Bukan sekali ia ditangkap Polhut. Kadang tertangkap, seringkali tidak tertangkap. Asep sangat lihai meniti rantai bisnis kayu ini. Mulai dari penebangan kayu pinus, pengangukatan, bernegosiasi dengan perusahaan kayu yang menadah kayu curian tersebut.
Dampaknya bukan hanya kerugian dari perusahaan bila dilihat dari aturan pengelolaan, namun juga kerusakan hutan. Lahan tersebut akan terbuka dan rawan terjadi kebakaran. Menurut data dari laman Perhutani, kawasan hutan KPH Garut dibagi dalam dua kelas perusahaan yaitu kelas perusahaan jati seluas 6.537,58 hektare dan kelas perusahaan pinus seluas 74.996,81 hektare.
Tak hanya pencurian kayu, alih fungsi hutan menjadi ladang sayur menjadi ancaman kerusakan hutan dan konflik tenurial masyarakat pinggiran hutan. Keterbatasan staf Perhutani untuk mengawasi kawasan menjadikan perambahan ini tak terpantau.
“Sebenarnya dari awal, dari orang tua dulu udah berkebun di hutan. Cuma waktu dulu kan belum ada sistem kelembagaan. Tapi sebenarnya petak umpet,” kata Dede Rahmad, ketua KTH Desa Dano. Para petani ini menggarap hutan dengan sembunyi-sembunyi. Bila ada petugas PT. Perhutani, mereka kabur. Tak jarang juga sering ditangkap.
Dalam ingatan Dede, dulu hutan di Desa Dano masih sangat lebat. Kelebatan hutan di desa ini menjadikan tempat untuk bersembunyi pasukan DI/TII.
“Di sini, di Kampung Patrol jadi markas TNI. Makanya dinamai Kampung Patrol karena buat patroli. Di sini dulu sampai dibikin pagar betis. Pagar betisnya ya manusia. Mereka berjejer jaraknya 10m,” kata Dede mengisahkan kisah yang dituturkan orang tuanya. Kelebatan hutan Desa Dano melindungi DI/TII. Tahun 1954, DI/TII dikalahkan oleh TNI.
Setelah tidak ada DI/TII, masyarakat mulai bercocok tanam di hutan untuk menyambung hidup. Komoditasnya pisang, singkong, hingga talas beracun. Kata Dede, talas beracun pun tetap dimakan karena tidak ada makanan lain.
Sampai tahun 1960-an, masyarakat bertanam akar wangi. Sebuah pengolahan akar wangi berdiri di desa itu. Dari akar wangi, penghasilan meningkat dari pengolahan lahan hutan ini. Sampai tahun 1998, pabrik akar wangi tak lagi bisa beroperasi karena kenaikan BBM.
Mulai saat itu, perambahan hutan justru makin masif. Menurut penuturan Dede, masyarakat mulai menanam sayuran. Komoditas ini cepat menghasilkan sekaligus mempercepat penebangan hutan. Lanskap hutan berubah menjadi lahan sayur yang rawan longsor. Pengolahan tanah yang intensif untuk tanaman semusim menjadikan tanah mudah erosi. Sementara itu, konflik lahan dan penangkapan petani pun terus terjadi.
Untuk mengatasi konflik itu, Perhutani membuat skema kerjasama dengan masyarakat. Dibentuklah LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Melalui LMDH, masyarakat berpegang pada NPKS (Naskah Perjanjian Kerjasama) untuk mengolah lahan milik Perhutani. Setidaknya, lahan yang sudah dibuka mendapatkan izin sehingga tidak perlu kejar-kejaran dengan petugas. Petani menyetor 30 persen dari hasil panen ke Perhutani.
“Tapi ya gitu, masyarakat masih tetap mencuri kayu. Jadi pemburu babi, pemburu harimau ke hutan,” kata Dede. NPKS ini tidak menghapus konflik masyarakat dengan Perhutani.
Menurut laman resmi Perhutani, secara keseluruhan Kabupaten Garut seluas 306.519,00 hektare dengan luas kawasan hutan berdasarkan SK. Menhut No.195 seluas 81.510,65 hektare.
Jumlah Karyawan KPH Garut sebanyak 231 orang, terdiri dari pegawai perusahaan sebanyak 228 orang dan pekerja pelaksana sebanyak 3 orang. Bila dilihat dari jumlah karyawan dan perbandingan luas, sangat tidak seimbang. Jika para perambah ini tertangkap, maka artinya sedang sial.
Hal senada juga terjadi di kawasan timur Indonesia yaitu di KPH Rinjani Barat. Munzir, Ketua KTH Giri Madia, Desa Giri Madia, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat mengingat kisah orang tuanya.
Kisah yang meninggalkan jejak pepohonan durian yang menjulang di hutan dan tanah kosong serupa hutan yang berada dekat permukiman. Di kawasan ini, sulit dibedakan antara kawasan kebun dan hutan.
Di Lombok Barat, konsep agroforestri sudah dilakukan sejak belum ada izin PS. Mereka biasa menanam pohon khususnya pohon buah bersama dengan palawija sehingga tidak monokultur.
“Dulu orang tua kami dikejar-kejar petugas. Tahun 1990-an, orang tua kami sudah menanam durian dan aneka tanaman buah,” kenang Munzir. Kondisi panen di ladang yang tidak menentu mengakibatkan masyarakat masuk ke dalam hutan untuk bercocok tanam, mengganti hutan primer menjadi tanaman yang bisa dipanen buahnya. Mereka menanam durian dengan menyebar biji ke dalam hutan setelah menjarangkan pohon-pohon hutan.
“Waktu itu belum ada izin, bapak saya sudah membawa biji-biji durian masuk hutan. Karena ketakutan, ya disebar begitu saja. Lalu bawa biji-biji palawija, kacang-kacangan,” kata Munzir.
Durian panen biasanya pada akhir tahun hingga Januari. Ia menunjukkan beberapa karung durian yang dihasilkan dari penanaman tanpa izin pada tahun 1990-an. Durian dan aren menjadi tumpuan ekonomi masyarakat desa ini.
Namun kondisi hutan di Nusa Tenggara Barat sedang tidak baik-baik saja. Data dari BRIN, perluasan pertanian menyebabkan deforestasi yang signifikan di Indonesia—bahkan negeri kita menempati posisi ketiga dunia. Salah satu perluasan pertanian itu berada di Nusa Tenggara Barat dengan luas lahan 8.000 hektare pada 2013-2020.
Tak hanya itu, sektor pertambangan, pengembangan destinasi wisata dan pembangunan infrakstruktur semakin mengurangi luasan hutan di Nusa Tenggara Barat.
Kendati provinsi ini menjadi daerah percontohan dalam pelestarian melalui Program NTB Hijau, WALHI menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 60 persen dari total kawasan hutannya.
—Kisah ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund - Pulitzer Center.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR