Dalam ingatan Dede, dulu hutan di Desa Dano masih sangat lebat. Kelebatan hutan di desa ini menjadikan tempat untuk bersembunyi pasukan DI/TII.
“Di sini, di Kampung Patrol jadi markas TNI. Makanya dinamai Kampung Patrol karena buat patroli. Di sini dulu sampai dibikin pagar betis. Pagar betisnya ya manusia. Mereka berjejer jaraknya 10m,” kata Dede mengisahkan kisah yang dituturkan orang tuanya. Kelebatan hutan Desa Dano melindungi DI/TII. Tahun 1954, DI/TII dikalahkan oleh TNI.
Setelah tidak ada DI/TII, masyarakat mulai bercocok tanam di hutan untuk menyambung hidup. Komoditasnya pisang, singkong, hingga talas beracun. Kata Dede, talas beracun pun tetap dimakan karena tidak ada makanan lain.
Sampai tahun 1960-an, masyarakat bertanam akar wangi. Sebuah pengolahan akar wangi berdiri di desa itu. Dari akar wangi, penghasilan meningkat dari pengolahan lahan hutan ini. Sampai tahun 1998, pabrik akar wangi tak lagi bisa beroperasi karena kenaikan BBM.
Mulai saat itu, perambahan hutan justru makin masif. Menurut penuturan Dede, masyarakat mulai menanam sayuran. Komoditas ini cepat menghasilkan sekaligus mempercepat penebangan hutan. Lanskap hutan berubah menjadi lahan sayur yang rawan longsor. Pengolahan tanah yang intensif untuk tanaman semusim menjadikan tanah mudah erosi. Sementara itu, konflik lahan dan penangkapan petani pun terus terjadi.
Untuk mengatasi konflik itu, Perhutani membuat skema kerjasama dengan masyarakat. Dibentuklah LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Melalui LMDH, masyarakat berpegang pada NPKS (Naskah Perjanjian Kerjasama) untuk mengolah lahan milik Perhutani. Setidaknya, lahan yang sudah dibuka mendapatkan izin sehingga tidak perlu kejar-kejaran dengan petugas. Petani menyetor 30 persen dari hasil panen ke Perhutani.
“Tapi ya gitu, masyarakat masih tetap mencuri kayu. Jadi pemburu babi, pemburu harimau ke hutan,” kata Dede. NPKS ini tidak menghapus konflik masyarakat dengan Perhutani.
Menurut laman resmi Perhutani, secara keseluruhan Kabupaten Garut seluas 306.519,00 hektare dengan luas kawasan hutan berdasarkan SK. Menhut No.195 seluas 81.510,65 hektare.
Jumlah Karyawan KPH Garut sebanyak 231 orang, terdiri dari pegawai perusahaan sebanyak 228 orang dan pekerja pelaksana sebanyak 3 orang. Bila dilihat dari jumlah karyawan dan perbandingan luas, sangat tidak seimbang. Jika para perambah ini tertangkap, maka artinya sedang sial.
Hal senada juga terjadi di kawasan timur Indonesia yaitu di KPH Rinjani Barat. Munzir, Ketua KTH Giri Madia, Desa Giri Madia, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat mengingat kisah orang tuanya.
Kisah yang meninggalkan jejak pepohonan durian yang menjulang di hutan dan tanah kosong serupa hutan yang berada dekat permukiman. Di kawasan ini, sulit dibedakan antara kawasan kebun dan hutan.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR