Nationalgeographic.co.id—Festival Perahu Naga jatuh pada hari kelima bulan kelima kalender lunar Tiongkok, tahun ini jatuh pada tanggal 10 Juni 2024. Merupakan salah satu perayaan penting dalam budaya Tionghoa, festival ini melibatkan kombinasi naga, roh, kesetiaan, kehormatan, dan makanan.
Elemen utama festival ini adalah balap perahu kayu panjang yang dihiasi naga dan mengonsumsi bacang. Bacang, yang disebut zongzi dalam bahasa Mandarin, adalah penganan yang terbuat dari beras atau ketan. Diberi isian daging, beras kemudian dibungkus daun bambu seperti lepat dan dikukus.
Berawal dari Qu Yuan, penasihat Dinasti Chu yang diasingkan
“Biasanya festival-festival Tiongkok disebabkan oleh kematian traumatis dari beberapa tokoh yang dihormati,” kata Andrew Chittick, seorang profesor Humaniora Asia Timur di Eckerd College di Florida.
Qu Yuan, penasihat istana Chu selama periode Negara-Negara Berperang di Tiongkok kuno, diasingkan oleh kaisar karena dianggap tidak setia. Qu Yuan mengusulkan aliansi strategis dengan negara Qi untuk menangkis ancaman negara Qin. Namun kaisar tidak menyetujuinya dan mengirim Qu Yuan ke hutan belantara.
Pendapat Qu Yuan terkait ancaman yang ditimbulkan oleh Qin pun terbukti. Qin segera menangkap dan memenjarakan Kaisar Chu. Kaisar Chu berikutnya menyerahkan negaranya kepada saingan mereka.
Setelah mendengar berita tragis tersebut pada 278 SM, Qu Yuan menenggelamkan dirinya di Sungai Miluo di Provinsi Hunan.
Dalam kisah awak zongzi yang pertama, diceritakan pada awal Dinasti Han, Qu Yuan menjadi roh air setelah kematiannya.
“Anda bisa menganggapnya sebagai hantu, roh yang harus diredakan kemarahannya. Ada berbagai cara untuk menenangkan hantu. Namun cara terbaik dan paling bertahan lama adalah dengan memberinya makanan,” jelas Chittick.
Bertahun-tahun setelah kematian Qu Yuan, para pendukungnya melemparkan nasi ke dalam air untuk memberi makan arwahnya. Namun persembahan tersebut, konon, selalu dicegat oleh naga air.
Setelah beberapa abad menghadapi masalah naga air, roh Qu Yuan muncul. Ia memberitahu orang-orang untuk membungkus nasi dengan daun atau memasukkannya ke dalam batang bambu. Dengan cara itu, sang naga tidak bisa memakannya. Masyarakat di Tiongkok kuno pun mulai memuji para penyelamat Qu Yuan yang telah memulai tradisi melempar bola nasi.
Baca Juga: Perayaan Pehcun di Lasem: Sempat Mati Suri, Lomban Hidup Kembali
Lalu apa kaitannya perayaan ini dengan perahu naga?
Untuk memahami bagaimana naga air masuk ke dalam cerita, atau bagaimana perahu yang diukir dengan naga di atasnya, kita perlu melihat lebih jauh ke masa lalu. Lebih dari 6.000 tahun yang lalu, sosok naga paling awal ditemukan.
“Merupakan salah satu makhluk mitos terpenting dalam mitologi Tiongkok, naga adalah pengontrol hujan, sungai, laut, dan semua jenis air. Naga adalah simbol kekuatan dan energi ilahi. Di era Kekaisaran Tiongkok, makhluk mitos ini diidentifikasi sebagai simbol kekuasaan kekaisaran,” tulis Deming An, Ph.D., seorang profesor cerita rakyat di Institut Sastra, Akademi Ilmu Sosial Tiongkok.
“Dalam imajinasi orang, naga biasanya hidup di air dan merupakan pengendali hujan.”
Perlombaan perahu naga dianggap berasal dari perayaan terorganisir Qu Yuan yang dimulai pada abad ke-5 atau ke-6 M. Namun para ahli mengatakan bahwa perahu tersebut pertama kali digunakan ratusan tahun sebelumnya, mungkin karena berbagai alasan.
Dalam kalender lunar, bulan Mei adalah periode titik balik matahari musim panas, saat yang penting untuk penanaman bibit padi. Pada saat yang sama, kata An, menurut kepercayaan tradisional Tionghoa, tanggal yang diberi angka ganda '5' sangat membawa sial. Untuk memastikan panen yang baik, rakyat di Tiongkok selatan meminta naga untuk menjaga tanaman mereka, kata Jessica Anderson Turner, kontributor Handbook of Chinese Mythology.
Mereka menghiasi perahu dengan hiasan ukiran naga. “Sedangkan mendayung merupakan simbol penanaman padi kembali ke dalam air,” jelas Anderson Turner. Hal ini sesuai dengan penjelasan Yan tentang simbolisme di balik bentuk zongzi: tetrahedral. “Ujung-ujungnya dimaksudkan untuk menyerupai tanduk sapi,” kata Yan, “yang merupakan simbol suci dalam budaya agraris kuno untuk berkah dan hasil panen yang melimpah.”
Ada beragam penafsiran
Dalam penafsiran lain, Chittick berpendapat bahwa perlombaan perahu naga pada awalnya adalah latihan militer di daerah Hubei, wilayah negara bagian Chu. Pelatihan itu berlangsung selama titik balik matahari karena pada saat itulah sungai berada pada titik tertinggi. “Perahu kecil adalah bagian penting dalam peperangan. Kemudian mereka mengubahnya menjadi tontonan olahraga.”
Sejarah dan cerita yang berbeda-beda ini seiring berjalannya waktu menyatu menjadi mitos Qu Yuan. “Penggabungan cerita adalah cara orang memahami berbagai hal,” kata Anderson Turner. “Mitos selalu berubah menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bagi banyak orang, Anda dapat memiliki sejarah dan budaya; keduanya bisa autentik dan benar.”
Bahkan kisah Qu Yuan bukanlah satu-satunya legenda di balik perayaan Duanwu Jie atau Festival Perahu Naga. Beberapa orang Tionghoa di utara, jelas Chittick, menceritakan kisah tentang seorang pria yang melarikan diri ke hutan setelah dianiaya oleh tuannya. Mencoba mengusir pria itu, sang raja membakar hutan dan secara tidak sengaja membunuh pelayan setianya.
Mitos lain yang bersaing, yang berasal dari provinsi selatan Fujian, adalah mitos Wu Zixu, yang juga dianiaya oleh rajanya. Kisah Wu Zixu melibatkan balas dendam, pertempuran yang penuh kemenangan, penyiksaan, dan bunuh diri. Sebagai tindakan terakhir, dia meminta agar, setelah mati, kepalanya dipenggal dan ditempatkan di gerbang kota. Tujuannya adalah agar dia bisa menyaksikan penjajah mengambil alih para pengkhianatnya.
Jenazah Wu Zixu dilempar ke sungai dan amukannya dikatakan menciptakan gelombang pasang yang besar. Karena itu, ia dipuja sebagai dewa sungai di beberapa wilayah Tiongkok. Itulah sebabnya beberapa orang menghubungkannya dengan Festival Perahu Naga.
Namun Qu Yuan menjadi tokoh utama dalam Festival Perahu Naga. Pasalnya, dia adalah seorang penyair polemik produktif. Karyanya dipelajari dan dicintai oleh generasi sarjana Tiongkok setelahnya.
“Salah satu alasan Qu Yuan memenangkan perayaan ini adalah karena kisahnya ditulis dalam teks sejarah—berulang kali,” kata Anderson Turner. Setelah menunjukkan kecintaan terhadap negaranya dan kebencian terhadap kelas penguasa yang tidak ramah, ia dikenal sebagai Penyair Rakyat. Bagi masyarakat Tionghoa, Qu Yuan telah melampaui kisah sederhana tentang pengorbanan dirinya. Kisahnya mewakili perwujudan patriotisme.
Demikian pula, perlombaan Perahu Naga dan zongzi telah menjadi jauh lebih besar dari sekadar hari raya. Di banyak tempat, jika Anda pergi ke jalur air pada Perayaan Perahu Naga, Anda akan menemukan perahu-perahu dengan dekorasi rumit. Perahu itu diawaki oleh dua baris pendayung yang diiringi penabuh genderang yang bersuara keras.
Sebagai bagian dari festival, zongzi pun dapat ditemukan di mana-mana, seperti perahu naga. Semua itu berkat besarnya diaspora Tionghoa. Saat ini Anda bisa mendapatkan bacang atau zongzi di mana saja yang terdapat penduduk Tionghoa. Misalnya, sepanjang tahun di toko serba ada di Chinatown New York hingga di banyak pasar di Indonesia.
Tradisi Peh Cun di Indonesia
Di Indonesia, Festival Perahu Naga dikenal juga dengan sebutan Peh Cun. Peh Cun berasal dari Bahasa Hokkian yang dipendekkan dari Pe Leng Cun atau Pe Liong Cun.
Selain menikmati bacang, ada tradisi menarik yang dilakukan di Indonesia. Salah satunya adalah mencoba mendirikan telur di siang hari saat perayaan Peh Cun digelar. Kegiatan ini dilakukan pada saat matahari berada di atas kepala. Meski terlihat sulit untuk dilakukan, beberapa orang yang mencoba ternyata bisa membuat telur benar-benar berdiri tegak tanpa dipegang. Menurut kepercayaan Tionghoa, hari tersebut adalah hari Twan Yang. Pada hari itu, posisi matahari dan gravitasi bisa mendirikan telur.
Tradisi mendirikan telur adalah sebagai tradisi memiliki makna agar umat menghargai perjuangan yang telah dilakukan para leluhur. Penghargaaan itu dilakukan dengan menjaga alam dan tunduk pada ketentuan yang maha kuasa, serta takwa kepada Tuhan.
Sedangkan di Pangkalpinang, masyarakat beramai-ramai membuang bacang ke laut sebagai simbol penghormatan.
Ribuan tahun berlalu, Festival Perahu Naga masih menjadi salah satu perayaan penting dalam budaya Tionghoa.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR