Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Suku Baduy sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun temurun. Khususnya dalam menjaga dan mengelola lingkungan hidup. Namun, kini ada ancaman nyata berupa kehadiran para wisatawan.
Dalam adat istiadat Suku Baduy, lingkungan alam tidak boleh dirusak, penggunaan lahan dilarang dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi, dan kawasan lindung harus tetap dipertahankan.
Dalam makalah studi bertajuk "Environmental Adaptation of Indigenous People: Baduy Tribe’s Local Wisdom in Environmental Management", Biffanca Allya Kenedy dan Ifan Deffinika menulis bahwa dapat dikatakan, urang Kanekes atau biasa disebut Baduy pada umumnya merupakan masyarakat yang mempunyai konsep pengelolaan lingkungan hidup
Masyarakat Baduy membagi wilayahnya menjadi tiga zona. Ketiga zona itu adalah zona bawah, zona tengah, dan zona atas.
Setiap zona tersebut mempunyai fungsi masing-masing. Zona bawah merupakan permukiman, zona tengah untuk pertanian intensif, dan zona atas merupakan kawasan konservasi yang tidak diperbolehkan untuk bercocok tanam.
Suku Baduy juga membagi hutan berdasarkan letak dan fungsinya, yaitu hutan terlarang, hutan dudungusan, dan hutan budidaya. Hutan terlarang adalah hutan lindung yang tidak boleh dimasuki, bahkan oleh masyarakat Baduy sendiri dan tokoh adatnya.
Hutan terlarang ini terletak disebelah selatan pemukiman Baduy Tangtu yang merupakan lokasi terdalam dan tertinggi dari kawasan hutan Suku Baduy. Di dalamnya terdapat berbagai jenis pohon kayu tinggi dengan daun lebat dan banyak binatang.
Hutan dudungusan merupakan hutan yang dilestarikan karena terletak di hulu sungai, atau merupakan tempat suci bagi nenek moyang Suku Baduy. Adapun hutan budidaya merupakan hutan yang dapat dimanfaatkan hasil alamnya bagi masyarakat Suku Baduy.
Peluang masyarakat Baduy dalam mengelola lingkungannya berasal dari kondisi alam yang mendukung. "Kondisi alam tempat mereka tinggal mendukung kehidupan sederhana dan hidup berdampingan dengan alam seperti membuat rumah adat dan kerajinan tangan," tulis Biffanca dan Ifan dalam makalah yang dipresentasikan di 3rd International Conference on Geography and Education itu.
Rumah adat Suku Baduy yang biasa disebut “Sulah Nyanda” dibuat dengan menggunakan bahan baku dari alam (dari kayu dan bambu) dan ramah lingkungan. Kayu digunakan untuk membangun pondasi sedangkan pada bagian dasar pondasi menggunakan batu kali atau alas sebagai pondasinya.
Untuk membangun rumah mereka, dibutuhkan kayu yang kokoh dan tahan lama seperti jati, mahoni, akasia, dan kayu ulin. Rumah adat mereka dibangun mengikuti kontur tanah dan letaknya tertata rapi menghadap utara. Hal ini dilakukan dengan aturan adat yang mengharuskan masyarakat membangun rumah tanpa merusak alam sekitar.
Baca Juga: Asal-usul Sebutan Baduy untuk Orang Baduy: Benarkah Mengandung Ejekan?
Bambu digunakan untuk dinding dan lantai ruangan, sedangkan atapnya menggunakan ijuk yang terbuat dari daun kelapa kering. Pada tanah yang miring dan tidak rata, bangunan akan ditopang dengan menggunakan tumpukan batu.
Sebelum mulai menanam padi, Suku Baduy melakukan upacara untuk memuji Dewi Sri yang telah menjaga tanahnya. "Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Baduy mempunyai ciri khas pada kearifan lokalnya khususnya dalam pengelolaan lingkungan hidup," tulis kedua peneliti.
Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Suku Baduy erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sebagai pelestarian dan pelestarian alam. Hal pertama yang mereka lakukan dalam bertani adalah selalu melihat bagaimana alam dan manusia di dalamnya.
Nilai, norma, dan keyakinan selalu mengikat mereka dalam hal apapun dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal bertani. Apalagi kearifan lokal ini selalu terjaga karena adanya pewarisan pengetahuan tentang aturan dasar hidup dan kelangsungan hidup Suku Baduy yang diajarkan secara turun-temurun.
Namun, kedua peneliti juga menyoroti adanya ancaman nyata terhadap kearifan lokal Suku Baduy. "Ancaman masyarakat Baduy dalam mengelola lingkungannya adalah keberadaan Desa Baduy sebagai destinasi wisata cagar budaya," tulis mereka.
"Meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung membuat banyaknya sampah plastik di lingkungan Suku Baduy. Sehingga, suasana di Baduy yang dijaga masyarakat setempat menjadi kotor. Kehadiran wisatawan juga menyebabkan masuknya budaya luar. Hal ini dapat merusak keaslian adat istiadat Suku Baduy," papar mereka mewanti-wanti.
Mereka menegaskan, "Kehadiran wisatawan dapat mempengaruhi keindahan alam bahkan keaslian adat istiadat yang dimiliki suku ini sehingga dapat menjadi ancaman bagi Suku Baduy."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR