Nationalgeographic.co.id—Saat ini, Manhattan merupakan salah satu pusat ekonomi dunia. Jantung dari komersialisasi dunia, industri dan budaya modern berkembang pesat di sana. Sebuah kota metropolis yang luar biasa bernilai di era modern.
Tapi pernahkan terbayangkan, jika Manhattan yang luar biasa hari ini pernah ditukar oleh kolonialis Belanda dengan sebuah pulau terpencil di Maluku? Hal ini membawa kita pada rentang sejarah yang jauh ke belakang.
Meski banyak ilmuwan dan pengamat kebudayaan yang menilai Manhattan merupakan ibu kota dunia karena keluar biasaannya, pada tahun 1667, Belanda bertaruh sebaliknya. Mereka menukar Manhattan dengan Run di wilayah Timur Hindia.
Pada tahun 1600-an, "Belanda menjalankan strategi yang sudah dikenal untuk menghasilkan uang, yaitu dengan mengejar rempah-rempah," tulis Robert Howells kepada History of Yesterday berjudul The Dutch Traded Manhattan For What?, terbitan 30 April 2024.
Run, sebuah pulau di kepulauan Hindia—kini dikenal sebagai Indonesia, merupakan lokasi utama—dalam beberapa kasus menjadi satu-satunya lokasi—dalam produksi pala dan fuli yang sangat berlimpah.
Meskipun rempah-rempah berlimpah di Run, tidak begitu diperhitungkan dalam perdagangan lokal. Namun dalam perdagangan mancanegara, pala dapat dibeli dengan harga murah di Kepulauan Banda, tetapi jika dijual di Eropa, nilainya naik sekitar 32.000 persen!
Pala diyakini cukup kuat untuk menjadi afrodisiak—zat yang mampu meningkatkan gairah seksual—yang kuat dan bahkan dapat menyembuhkan Wabah Hitam.
Sebaliknya, di tahun 1667—sebelum dikenal dengan Manhattan—Nieuw Amsterdam merupakan koloni kecil Belanda dengan jumlah penduduk dua ribu orang. Wilayah yang belum menunjukkan harapan apa pun akan seperti apa nantinya.
Pada masa-masa itu, Manhattan atau Nieuw Amsterdam berada di bawah kekuasaan Belanda, merupakan daerah berhutan. Roda penggerak ekonomi utama mereka adalah perdagangan kulit binatang.
Penduduk asli Amerika yang ada di sana memperjual-belikan kulit binatang yang mereka buru dari hutan, khususnya berang-berang. Mereka berburu di hutan untuk mendapatkan barang-barang yang bisa mereka jual di pasar.
Tahun yang cukup sulit bagi Manhattan. Meskipun topi yang dibuat dari kulit berang-berang cukup populer di Eropa, tidak ada harapan bahwa topi itu dapat menggantikan kebutuhan pala di Eropa, sekaligus penggerak dan sumber pendapatan ekonomi.
Baca Juga: Dua Kali Konflik Besar Maluku, Perang Saudara setelah Kemerdekaan RI
Source | : | History of Yesterday |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR