“Dengan menentukan populasi moa terakhir dan membandingkannya dengan distribusi burung yang tidak bisa terbang di Selandia Baru, kami menemukan bahwa tempat perlindungan terakhir ini melindungi banyak populasi takahē, weka, dan kiwi tutul besar yang masih ada saat ini," terang Sean Tomlinson, penulis utama studi dari institusi yang sama dengan Fordham.
Tren kepunahan burung yang tidak bisa terbang di Selandia Baru
Studi ini dilakukan menggunakan model komputasional yang canggih, digabung dengan catatan fosil yang luas, informasi terkait iklim di masa lalu, dan rekonstruksi kolonisasi dan perluasan spesies yang ada di Selandia Baru.
Meski menggunakan benteng terakhir alami yang sama dengan moa di masa lalu, burung-burung yang tidak bisa terbang hari ini mengalami kepunahan yang berbeda. Perubahan iklim menjadi alasan burung-burung yang tersisa menjadi terancam konservasinya.
Kesamaan mereka dengan moa, adalah pemanfaatan dinamika spasial yang serupa. Para peneliti memperkirakan, hal yang mendorong burung-burung yang tersisa hari ini ke lokasi yang sama adalah bertujuan untuk mengurangi dampak dari manusia.
Dengan demikian, penelitian ini membantu memahami apa yang sebenarnya moa alami di masa lalu, dan menjadi pembelajaran upaya konservasi pada burung yang masih ada di Selandia Baru.
Hal ini termasuk menyoroti pentingnya menjaga tempat-tempat terpencil dan liar untuk tetap lestari sebagai habitat satwa, seperti burung yang tidak bisa terbang.
Source | : | eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR