Nationalgeographic.co.id—Bunuh diri adalah fenomena kompleks yang menarik untuk dikaji. Sebab, akar permasalahan peristiwa ini belum dapat ditentukan secara spesifik.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka bunuh diri secara global mencapai lebih dari 800 ribu kasus per tahun. Kasus tertinggi terjadi di kalangan usia muda.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yurika Fauzia Wardhani, juga mengumpulkan data secara mandiri di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa angka bunuh tertinggi terjadi ada di kalangan usia muda atau usia produktif.
“Pada masa pandemi, ternyata banyak sekali kasus bunuh diri yang muncul di medsos. Saya mengumpulkan informasi kasus bunuh diri dari 2012 sampai 2023, tertinggi di usia produktif/remaja dan dewasa,” kata Yurika, seperti dilansir laman BRIN.
Yurika menyampaikan data tersebut dalam webinar bertajuk "Fenomena Banyaknya Kasus Bunuh Diri pada Usia Produktif, Apa yang Terjadi?", Kamis (25/7/2024).
Untuk usia remaja, jelas Yurika, kasus bunuh diri terjadi karena tekanan akademis, sosial, harapan-harapan tinggi untuk lebih berprestasi dan berkompeten di bidang akademi, perubahan hormon, emosi, dan permasalahan keluarga.
Permasalahan lainnya adalah makin banyak perundungan, cyber bullying, pengaruh media informasi bebas, masalah identitas diri, dan kurangnya akses sumber dukungan kepada para remaja.
Penyebab bunuh diri pada usia dewasa juga sama dengan remaja.
Adapun angka bunuh diri di kelompok usia lain jusru sedikit terabaikan. Namun angka bunuh diri yang tinggi juga ditemukan di kalangan lansia dan manula. Angka bunuh diri yang tinggi ini menjadi bahan perhatian seperti ada kasus bunuh diri pada usia 90 tahun.
“Ada beberapa hal yang mendorong untuk melakukan bunuh diri di usia lansia dan manula, yaitu kesehatan mental, rasa kesepian, penyakit menahun, dan akses meminta pertolongan terhambat,” papar Yurika.
Baca Juga: Peneliti Ungkap Beberapa Gen Ini Picu Orang untuk Cenderung Bunuh Diri
Dia juga menguraikan, berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai angka bunuh diri yang tinggi. Menurutnya, norma sosial terhadap gender laki-laki sangat memengaruhi angka ini.
Dalam budaya Indonesia ada budaya patriaki yang lebih menghargai “laki-laki yang lebih tegar”. Akibatnya, laki-laki cenderung tidak bisa berbagi cerita mengenai permasalahannya.
Dari data yang Yurika kumpulkan, cara bunuh diri yang banyak dilakukan antara lain minum racun, menembak diri, menabrakkan diri ke kendaraan, membakar diri, melukai diri dengan alat, meledakkan bom, lompat ke daerah air, lompat di daratan, dan gantung diri.
“Solusi agar terhindar dari bunuh diri yaitu meningkatkan kesadaran dan pendidikan, pelayanan kesehatan mental yang lebih baik, pelatihan dan dukungan untuk keluarga dan komunitas, bekerja sama dengan instansi-instansi terkait untuk membuat suatu program pencegahan bunuh diri, serta penelitian dan data serta pencatatan yang rapi dan tersentral yang bisa diakses oleh lembaga yang berkepentingan,” tuturnya.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, NLP Indi Dharmayanti, mengatakan bahwa bunuh diri tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat luas.
“Kehilangan seseorang di usia produktif berarti kehilangan potensi dan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pencegahan bunuh diri adalah tanggung jawab bersama,” tegas Indi.
Menurutnya, penting untuk memahami faktor-faktor penyebab bunuh diri, mulai dari tekanan ekonomi, masalah kesehatan mental, hingga kurangnya dukungan sosial. Pemahaman yang lebih baik dapat mengembangkan strategi pencegahan yang efektif.
Indi menekankan, “Selain intervensi medis dan psikologis, pendekatan holistik yang mencakup pendidikan, kampanye kesadaran, dan kebijakan pendukung kesehatan mental sangat penting."
Source | : | Brin.go.id |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR