Nationalgeographic.co.id—Aborsi, sebuah topik yang sering dianggap tabu dan kontroversial, ternyata memiliki sejarah yang kompleks dan menarik, terutama pada Abad Pertengahan.
Jauh dari pandangan umum yang menganggap aborsi sebagai praktik terlarang, bukti sejarah mengungkapkan bahwa aborsi dan kontrasepsi justru merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pada masa itu.
Bagaimana mungkin praktik yang dianggap terlarang ini justru begitu umum dilakukan? Mari kita telusuri lebih dalam sejarah aborsi di Abad Pertengahan, menggali fakta-fakta menarik tentang praktik, metode, dan perdebatan seputar aborsi yang terjadi pada masa itu.
Bukti sejarah
Dalam banyak diskusi modern tentang aborsi, sering diasumsikan bahwa praktik ini tidak lazim terjadi di masa pramodern.
Namun menurut profesor Roland Betancourt, penulis buku Byzantine Intersectionality: Sexuality, Gender, and Race in the Middle Ages, menunjukan bahwa pandangan di atas keliru.
"Stereotip pengetahuan medis di dunia kuno dan abad pertengahan mempertahankan anggapan yang salah kaprah bahwa obat-obatan serta operasi aborsi dan kontrasepsi tidak mungkin ada di masa lalu pramodern. Hal ini sangat jauh dari kebenaran," ungkap Betancourt.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa praktik aborsi dan kontrasepsi jauh lebih umum di Abad Pertengahan daripada yang sering diasumsikan.
Meskipun pandangan resmi hukum dan agama mengutuk praktik ini, banyak teks medis yang diproduksi oleh dan untuk wanita Kristen kaya menunjukkan sejarah yang berbeda.
Wanita-wanita ini memiliki akses ke berbagai kontrasepsi farmasi, praktik untuk menginduksi keguguran, dan prosedur bedah untuk mengakhiri kehamilan.
Dalam beberapa teks medis dari berbagai periode, seperti karya Aëtius dari Amida pada abad keenam dan Paul dari Aegina pada abad ketujuh, merinci prosedur untuk embriotomi, sebuah operasi untuk menggugurkan kandungan.
Baca Juga: Ketika Peradaban Islam Perkenalkan Obat Kontrasepsi dalam Sejarah Abad Pertengahan
Bahkan dalam teks-teks agama, seperti "Lives of the Fathers of Mérida", aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa wanita tidak dikritik, menunjukkan bahwa tindakan ini diterima dalam konteks tertentu.
Selain itu, dalam teks abad ke-12 dari Salerno, penulis memberikan contoh pekerja seks yang sering berhubungan seksual tetapi jarang hamil. Menurut Betancourt, di abad ini, penggunaan alat kontrasepsi dan obat penggugur kandungan semakin marak.
Dengan demikian, bukti sejarah dan praktik medis dari Abad Pertengahan menunjukkan bahwa aborsi dan kontrasepsi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan tidak selalu dikutuk seperti yang sering diasumsikan dalam pandangan modern.
Kompleksitas praktik aborsi
Wanita tidak hanya menjadi subjek dari praktik aborsi dan kontrasepsi, tetapi juga sering kali menjadi praktisi medis yang terlibat dalam prosedur ini.
Dalam banyak kasus, wanita, terutama yang berasal dari kalangan elit dan kaya, memiliki akses terhadap pengetahuan medis terbaik di zamannya.
Mereka sering kali menggunakan berbagai metode kontrasepsi dan aborsi untuk mengatur kehamilan mereka.
Menurut Betancourt, "praktik medis ini tidak hanya terbatas pada kontrasepsi herbal dan farmasi serta obat aborsi, tetapi juga berbagai intervensi bedah, yang hari ini kita sebut sebagai aborsi tahap akhir."
Kendati demikian, tidak semua wanita di abad pertengahan memilki kebebasan yang sama. Mereka yang berasal dari masyarakat rendahan, seperti pekerja seks, sering kali dipermalukan dan dihukum karena praktik aborsi mereka.
"Satu-satunya perbedaan antara pekerja seks yang dihina karena aborsi dan orang-orang yang memesan buku-buku tentang kandungan dan pembedahan ini adalah status sosial mereka. [Yang disebut terakhir] merupakan bagian dari kalangan elit istana. Karena itu, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap pengetahuan medis, perawatan, dan privasi," tegas Betancourt.
Larangan praktik aborsi
Meskipun praktik aborsi sangat meluas di tengah masyarakat Eropa Abad Pertengahan, sebenarnya telah terdapat berbagai larangan ketat dari pemerintah dan agama.
Pada awal era Kristen, hukum gereja menyatakan bahwa wanita yang melakukan atau mencoba melakukan aborsi akan diasingkan dari gereja selama 10 tahun. Bahkan sebelumnya diusulkan agar mereka diasingkan seumur hidup.
Bapa Gereja Basil Agung pada abad keempat menyarankan bahwa waktu pengasingan tidak harus ditentukan secara ketat tetapi tergantung pada pertobatan orang tersebut.
Hukuman ini akan menjerat siapa pun yang melakukan aborsi atau membantu dalam pelaksanaannya. Bahkan, seorang praktisi aborsi dapat dikenai hukuman mati jika "pasien" meninggal dalam prosesnya.
"Banyak dari hukum-hukum ini dikodifikasikan dalam Intisari Yustinianus pada abad keenam, sebuah ringkasan hukum yang diambil dari pendapat-pendapat legislatif kuno," jelas Betancourt.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR