Nationalgeographic.co.id—Salah satu cara mengenalkan keanekaragaman hayati Indonesia kepada khalayak adalah lewat bidang kuliner. Hal inilah yang menjadi misi acara masak-memasak bersama Chef La Ode, alumni kontes MasterChef Indonesia Season 8, yang berlangsung di Kedai Halaman, Jakarta, pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Selain menampilkan keahliannya dalam memasak, Chef La Ode juga menceritakan pengalamannya mengikuti program Jejak Rasa beberapa waktu lalu di Hutan Adat Pikul Pengajid, Dusun Melayang, Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Eksplorasi pangan yang diikuti La Ode di Kalimantan itu merupakan seri kelima dari program Jejak Rasa yang digagas oleh TFCA Kalimantan Yayasan KEHATI.
“Saya sangat terkesima dengan beragam jenis tumbuhan yang ada di sana. Bahan-bahan seperti daun sengkubak, daun empangau, dan buah tengkawang dapat dijadikan bahan kuliner yang lezat. Bahkan, buah tengkawang digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pembuat margarin, es krim, dan aneka kue,” ujar La Ode.
Dalam acara memasak ini, La Ode membawa semua bahan pangan yang dia dapat dari Hutan Adat Pikul Pengajid tersebut. Hutan adat ini dikelola oleh masyarakat setempat yang merupakan warga Suku Dayak di Kabupaten Bengkayang.
Tengkawang, pohon endemik Kalimantan yang jadi inspirasi film "Avatar"
La Ode mengatakan, "Dari bahan-bahan ini, yang paling berkesan adalah tengkawang." Masyarakat Dayak setempat sangat memuliakan dan menjaga kelestarian pohon tengkawang.
Saking istimewanya, pohon tengkawang ini telah menjadi inspirasi bagi satu bagian cerita dari film "Avatar". "Kalau yang nonton Avatar, pasti tahu dia [tengkawang] sebagai buah keselamatan. Buah dewa," kata La Ode.
"Ternyata, memang di masyarakat adat [Dayak] sendiri menganggap buah ini sebagai buah keberuntungan," tutur La Ode.
Orang-orang Dayak setempat suka berdoa di bawah pohon ini untuk meminta keselamatan. Misalnya keselamatan bagi orang yang sedang hamil, akan melahirkan, ataupun punya hajat lainnya.
Konon, orang-orang Hollywood sampai langsung datang ke Kalimantan untuk mempelajari pohon tengkawang ini. Dan hasil riset itulah yang kemudian menjadi bekal mereka untuk mengembangkan cerita film "Avatar".
Baca Juga: Forum Bumi: Apa yang Terjadi Jika Keanekaragaman Hayati Punah?
Tak hanya menjadi pohon yang disakralkan, tengkawang juga menghasilkan buah yang selama ini menjadi komoditas pangan masyarakat setempat.
"Buahnya juga bermanfaat kalau sudah jatuh. Diolah menjadi butter (mentega nabati) alami," ujar La Ode. Masyarakat setempat menggunakan mentega ini sebagai pengganti minyak untuk menggoreng.
Jadi, masyarakat adat di Dusun Melayang tidak terpengaruh oleh naik-turunnya harga minyak goreng di Indonesia. "Jadi kalau mau menggoreng, mau minyak mahal atau murah, mereka sudah punya minyak sendiri," ucap La Ode.
Mereka membuat mentega dari buah tengkawang ini dengan cara tradisional. "Mereka enggak perlu tambahan bahan macam-macam. Buahnya dipotek, dijemur. Setelah dijemur, ditumbuk secara tradisional, habis itu diperas. Butter yang keluar, sudah jadi dan bisa dipakai," beber La Ode.
Dari produk mentega tengkawang ini, masyarakat juga sudah bisa membuat berbagai produk turunannya. "Ada yang bikin es krim, ada yang bikin buat mi, buat roti juga bisa," La Ode memaparkan. "Kata mereka, paling mahal itu dibikin obat-obatan sama produk kecantikan."
"Kemarin pun kita masuk di hutan, butternya kita oles di badan kita. Aman saja itu kita masuk di sana enggak ada serangga yang gigit kita," kata La Ode lagi. Selain itu, mentega atau minyak tengkawang ini juga untuk pengobatan dan ritual pengobatan. "Untuk urut, untuk salah urat."
Direktur TFCA Kalimantan Yayasan KEHATI, Puspa Dewi Liman, mengatakan bahwa tengkawang adalah salah satu spesies dari genus pohon meranti.
"Jadi dia nama Latinnya adalah Shorea spp. Tapi jenis meranti itu banyak, ada meranti putih, meranti merah, ada macam-macam. Nah, tengkawang ini salah satu jenisnya," jelas Puspa.
Daun pengganti gula dan micin
Selain buah tengkawang, masih banyak lagi kekayaan keragaman hayati yang ada di Hutan Adat Pikul Pengajid yang luasnya 100 hektare. Di tempat itu juga tumbuh pohon lain yang daunnya bisa dimanfaatkan oleh warga sebagai pengganti micin (penyedap rasa), pengganti bawang putih, dan pengganti gula.
Daun tradu yang hutan adat ini biasa dipakai sebagai pengganti bawang putih. Aromanya memang mirip bawang putih.
Lalu ada pula daun empangau yang biasa dipakai oleh masyarakat untuk melunakkan daging. Daun ini juga menjadi pengganti gula.
"Bentuknya itu kayak daun kunyit. Baunya kayak walang sangit, tapi rasanya manis," jelas La Ode.
Ada juga daun sengkubak yang menjadi pengganti micin. Rasanya gurih. Ada pula daun saksang yang juga dimanfaatkan sebagai penyedap rasa.
Dengan semakin banyaknya orang yang tahu keanekaragaman hayati di Kalimantan ini, maka diharapkan akan semakin tinggi pula rasa kepedulian dari masyarakat untuk menjaga tumbuhan-tumbuhan tersebut agar terhindar dari kepunahan.
Para peserta acara masak tersebut kemudian mencicipi berbagai masakan yang dihidangkan La Ode dengan bahan bumbu-bumbu dari hutan adat tersebut.
Rujak kalimantan hingga ayam bumbu hutan adat dihidangkan dengan nikmat. Maka maukah kita menjaga kenikmatan alam ini dari kerusakan?
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR