Nationalgeographic.co.id—Sejarah kuno Indonesia, khususnya di tanah Jawa, menyimpan beragam kisah dari para raja Jawa yang memimpin kerajaannya, salah satunya yang terkennal yakni Ken Arok, pendiri wangsa Rajasa dan kerajaan Tumapel (Singasari).
Siapakah Ken Arok sebenarnya? Benarkah ia seorang petualang dari desa yang berhasil menjadi raja? Boechari, pakar epigrafi dan sejarah kuno Indonesia, menerbitkan sebuah buku berjudul Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Ia mengungkap bahwa dalam dalam suatu masyarakat yang masih memegang teguh caturwarna, seperti yang tercermin dalam kitab-kitab hukum dan prasasti, sepertinya tidak mungkin seorang petani, yang setinggi-tingginya masuk kasta waisya, bahkan tidak mustahil masuk kastra sudra, mampu merebut kekuasaan penguasa dengan mudah. Lebih jauh, juga tidak mungkin para brahmana mau mendekatinya.
Dalam kitab Pararaton dikatakan bahwa ibu Ken Arok pada suatu hari dihadang oleh dewa Brahma dan disetubuhi. Lima hari kemudian suami perempuan itu meninggal.
Setelah bayi yang dikandung lahir, dibuanglah bayi itu, yang ternyata mempunyai mukizat dapat mengeluarkan sinar dari tubuhnya. Sejarawan R.B. Muljana mengatakan bahwa suami itu meninggal karena ‘ngenes.’
"Kasus asusila tersebut merupakan tindak pidana yang pada waktu itu disebut dengan paradara dalam kitab-kitab hukum. Berdasarkan aturan yang berlaku, ada pasal yang memperbolehkan si suami dari perempuan yang disetubuhi untuk membunuh pelaku. Lantas, mengapa bukan pelaku dan justru suami sah yang meninggal?" ungkapnya.
Boechari berasumsi bahwa pengarang kitab Pararaton berusaha menutupi kenyataan bahwa orang yang meyetubuhi ibu Ken Arok merupakan penguasa wilayah di sana. "Sebagai penguasa, atau san amawa bhumi, ia kebal hukum hingga mampu menyingkirkan laki-laki yang sudah menjadi suami sah dari perempuan yang disukainya," papar Boechari.
Ken Arok yang dikaruniai kemampuan mengeluarkan sinar dari tubuhnya tak lain merupakan anak dari san amawa bhumi. "Tema yang umum dalam kesasteraan Indonesia bahwa kemampuan istimewa itu sebagai tanda bahwa ken Arok merupakan keturunan bangsawan yang mungkin akan menjadi raja atau menurunkan raja-raja," pungkasnya.
Bayi Ken Arok yang dibuang ibunya mengeluarkan sinar di malam hari, dan mukizat itu masih ada padanya waktu ia sudah dewasa. Berganti-ganti ia mendatangkan bencana dan keuntungan kepada orang yang diikutinya.
Selanjutnya ia hidup mengembara sebagai pencuri, perampok, pencari wanita, dan pembunuh, hingga dikejar-kejar oleh rakyat serta utusan Tumapel atas perintah raja Daha. Tetapi ia selalu dapat lolos dari kejaran berkat bantuan dewa-dewa. Ia diaku anak dewa Siwa, dan dikatakan penjelmaan dewa Wisnu.
Dengan perantara pendeta Lohgawe, ia dapat diterima menghambakan diri pada san akuwu di Tumapel, Tunggul Ametung. Tidak lama kemudian Ken Arok tertarik dengan istri muda Tunggul Ametung, Ken Dedes, yang juga mempunyai mukjizat mengeluarkan sinar.
Baca Juga: Raja Jawa Kuno Punya 'Pegangan' untuk Cegah Pemungut Pajak Berulah
Maka Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes, yang waktu itu tengah hamil tiga bulan. Ken Arok kemudian menggantikan Tunggul Ametunng sebagai akuwu di Tumapel dan semua itu dibiarkan saja oleh keluarga Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel.
Setelah 40 tahu menjadi akuwu di Tumapel di bawah kekuasaan maharaja Daha, Ken Arok didatangi oleh para brahmana dari Daha, yang tidak setuju dengan sikap sang maharaja terhadap kaum mereka. Mereka kemudian menobatkan Ken Arok sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Rajasa san Amurwabhumi.
Kemudian ia menyerang Daha setelah minta izin kepada para pendeta untuk memakai nama Bhatara Guru, sebab raja Daha, Dandan Gendis, mengataka bahwa hanya kalau Bhatara Guru sendiri turun ke dunia, maka kerajaannya dapat dikalahkan. Maka dalam peperangan di sebelah utara Ganter, Daha dapat dikalahkan dan Sri Rajasa menjadi maharaja di Tumapel (1222 M).
Ken Arok dengan mudah diterima pengabdiannya oleh Tunggul Ametung, san akuwu Tumapel, meskipun Tunggul Ametung pernah memerintahkan menangkap si penjahat yang mengacaukan Tumapel.
Tak hanya itu, mengingat pula bahwa setelah ia berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan mudah ia dapat memperistri Ken Dedes, serta menggantikan kedudukan sebagai akuwu di Tumapel tanpa ada campur tangan dari rakyat dan kaum keluarga Tunggul Ametung, Boechari berpendapat bahwa san amawa bhumi yang menyetubuhi ibu Ken Arok (Ken Endok) adalah Tunggul Ametung sendiri.
"Ken Endok sepertinya juga tidak dibawa ke puri, itulah sebabnya Negarakertagama yang merupakan syair pujaan untuk raja dan dinastinya, menyebut Rajasa sebagai keturunan dwa yang lahir tanpa melalui kandungan atau tidak beribu," ungkap Boechari.
Negarakertagama juga mengungkap bahwa seorang penguasa tidak terlalu terikat oleh norma-norma kesusilaan yang umum terhadap wanita rakyatnya. Hal itu tercerminn dari kitab Negarakertagama yang mengatakan bahwa gadis-gadis yang cantik di Jangala dan Kadiri dipilih sebanyak-banyaknya, demikian pula yang tertawan dari keraton-keraton yang lain, mana yang cantik dibawa masuk ke dalam istana Majapahit.
Tunggul Ametung juga memiliki sifat serupa, dalam kitab Pararaton dikatakan bahwa setelah ia mendengar ada serang pendeta di Paawien, Mpu Purwa, yang mempunyai anak perempuan yang terkenal cantik berama Ken Dedes, segera ia pergi ke Paawijen ke tempat tinggal Mpu Purwa.
Ia sangat terpesona oleh kecatikan Dedes dan tapa izin sang ayah yang kebetulan sedang tidak berada di pertapaan.
Menurut urutan ceritanya dalam kitab Pararaton, Ken Dedes dibawa ke Tumapel setelah agak lama Ke Arok diterima, dan tentunya diaku anak oleh Tunggul Ametung.
Dapat dibayangkan bahwa dalam hal ini Ken Dedes lebih layak menjadi istri Ken Arok, sehingga tidak mengherankan juga jika Ken Arok kemudian jatuh cinta kepada istri muda ayahnya sendiri.
Baca Juga: Mengapa Marie Antoinette Jadi Simbol Hedonisme Wanita Bangsawan?
Motif pembunuhan Tunggul Ametung oleh Ken Arok mungkin pertama-tama soal cinta, atau kedua mugkin menyangkut hak waris. Sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan, atau anak dari selir yang tidak dimasukkan ke dalam puri, tentu Ken Arok tidak berhak atas warisan apa-apa, terlebih jika Tunggul Ametung mempuyai anak dan istri utama.
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ‘dewa Brahma miling-milig karena ingin mempuyai anak,’ dapat ditafsirkan bahwa Tunggul Ametung mungkin belum menetapka istri utama sebelum memperistrika Ken Dedes.
Maka setelah Tunggul Ametung memperistrikan Ken Dedes dan mungkin mejadikannya istri utama lalu kemudian ia mengandung, Ken Arok merencanakan pembunuhan atas ayahnya sebelum si bayi lahir.
Setelah ia berhasil merebut posisi Tunggul Ametung, baru segala kekuasaa dan warisan wilayah Tumapel jatuh kepadaya, bukan ke anak yang dikandung Ken Dedes.
Ken Arok disebut penjelmaan Wisnu dan didaku sebagai anak Siwa dengan mukizat mampu mengeluarkann sinnar, memang sudah sesuai dengan anggapan nenek moyang kita bahwa raja harus mempunyai sifat-sifat kedewaan.
Banyak berbagai prasasti yang menunjukkan bahwa raja sangat memperhatikan keluh kesah rakyatnya dan tidak memerintah secara sewenang-wenang. Satu hal yang bertentangan dalam penggambaran hidup Ken Arok yakni masa mudanya yang dilukiska sebagai pencuri, pembegal, pembunuh, dan pemerkosa.
Ia melakukan hal-hal yang jauh dari penggambaran ideal seorang raja sebagaimana tertulis dalam kitab Ramayana Kakawin yang menyebut bahwa raja harus memiliki sifat-sifat delapan orang dewa penjaga mata angin, yang pokoknya harus berbudi luhur, adil, bijaksana, dan pemurah.
Baca Juga: Asteroid 'Pemusnah' Dinosaurus Terbentuk di Lapisan Luar Tata Surya
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR