Istilah Pan-Islamisme, yang merupakan kosa kata Eropa untuk menggambarkan upaya Muslim dalam mewujudkan persatuan pada periode itu, nyata atau yang dirasakan, pertama kali digunakan pada tahun 1877 dan 1878.
Istilah yang setara dalam dunia Islam, Ittiḥad-i Islam, muncul sekitar satu dekade sebelumnya di kalangan Young Ottomans, dan kemudian dikenal dalam bahasa Arab sebagai Waḥdat al-Islam (al-Waḥda al-Islāmiyya) atau Jami'at al-Islam.
Aspirasi Pan-Islam mendapat dorongan kuat terutama pada era Hamidian Ottoman yang dimulai pada tahun 1876. Sultan Abdul Hamid II (memerintah 1876-1909) menggunakan ide ini untuk mendorong pelaksanaan reformasi dan berusaha mencapai persatuan internal dalam kekhalifahannya di tengah ancaman serius terhadap disintegrasi.
Ide ini mendapat dukungan dari beberapa ulama Sufi seperti Syekh Abu-l-Huda al-Sayyadi dari Tarekat Rifa'iyyah, Syekh Fadl al-Alawi dari Hadramaut, dan Syekh Muhammad Zafir, anggota Tarekat Shadhiliyah dari Mekkah. Namun, ide ini menyebar di banyak negara Muslim, termasuk Asia Tenggara, terutama melalui peran seorang reformis yang berselisih dengan para Sufi, yaitu Jamal al-Din al-Afghani.
Al-Afghani menyerukan dunia Islam untuk bersatu dan membebaskan negara-negara mereka dari kolonialisme Eropa. Pan-Islamisme cukup berpengaruh dalam membangkitkan sentimen di kalangan Muslim di banyak wilayah, meskipun pada akhirnya tidak berhasil mewujudkan persatuan dan mempertahankan keberadaan Kekhalifahan Ottoman yang telah mengalami kemunduran serius.
Gagasan Pan-Islamisme ditransmisikan ke Hindia Belanda dan mendapat sambutan awal dari beberapa Hadrami terkemuka seperti Abdullah bin Alawi al-Attas, Ali bin Shahab, Abdul Kadir Alaydrus, Sahl bin Sahl, dan Muhammad bin Abdul Rahman Alaydrus Salabiyah.
Orang-orang ini umumnya adalah pedagang kaya, dan sebenarnya tidak lazim bagi para pedagang untuk bergabung dalam atau menjadi pemimpin dari sebuah gagasan agama baru, kecuali karena gagasan tersebut membawa harapan bagi masalah yang mereka semua hadapi.
Masalah komunitas ini sekarang menjadi bagian dari krisis yang lebih luas dalam dunia Islam, yaitu kemunduran peradaban Islam dan ancaman kolonialisme Barat, yang solusinya dengan antusias dicari dalam persatuan Islam.
Pan-Islamisme memberikan optimisme kepada orang-orang Hadrami yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kolonial. Sekarang mereka dapat mengalihkan pandangan mereka ke Ottoman, yang meskipun mengalami kemunduran serius, masih diperhitungkan oleh orang Eropa.
Diharapkan ini akan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Ottoman membutuhkan dukungan dari dunia Islam untuk meneguhkan kembali posisinya dan sebaliknya, komunitas Muslim, termasuk mereka di Hindia Belanda, membutuhkan dukungan dari Ottoman untuk mencapai emansipasi dan memastikan terpenuhinya hak-hak mereka meskipun berada dalam suasana kolonial.
Upaya untuk menjalin hubungan dengan Ottoman dilakukan di beberapa wilayah di Sumatera pada pertengahan abad ke-19 oleh para pemimpin agama atau sultan setempat dalam perlawanan mereka terhadap Belanda.
Baca Juga: Sentuhan Militer Ottoman dalam Laskar Perang Diponegoro vs Belanda
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR