Di Jawa, semangat ini menyebar terutama di bagian barat pulau di mana kaum Muslim kelas menengah memiliki kepemimpinan yang lebih kuat.
Antipati terhadap Belanda dan simpati yang meluas terhadap penderitaan sesama Muslim meningkat secara signifikan setelah dimulainya invasi militer Belanda ke Aceh pada tahun 1873, hanya beberapa tahun sebelum awal pemerintahan Sultan Abdul Hamid di Istanbul.
Pada paruh kedua abad ke-19, Muslim Singapura, terutama para pedagang Hadrami, memainkan peran penting sebagai penghubung antara Asia Tenggara dan pusat-pusat otoritas Islam di Mekkah atau Istanbul dan koloni Inggris ini telah menjadi tempat penting di mana kebencian dan ketidakpuasan diarahkan kepada kolonialis Belanda.
Para konsul Ottoman kini menjadi juru bicara bagi orang-orang Hadrami yang merasa kesal dengan pembatasan kolonial yang diberlakukan kepada mereka dan menginginkan status mereka disamakan dengan orang Eropa.
Namun, kehadiran konsulat Ottoman dan hubungan dekatnya dengan orang-orang Hadrami tampaknya telah meningkatkan kekhawatiran pemerintah kolonial tentang kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan jika kebijakan pembatasan itu dihapuskan.
Snouck Hurgronje, penasehat urusan pribumi untuk pemeritah kolonial, yang memahami bahwa inti kekecewaan komunitas Arab adalah kebebasan bergerak mereka, berulang kali menyarankan pemerintah untuk menghapus kebijakan yang membatasi mobilitas komunitas ini di Hindia Belanda, dan sebagai gantinya menolak masuknya pendatang baru dari Hadramaut, namun rekomendasi ini tidak segera dipertimbangkan oleh pemerintah kolonial.
Orang-orang Hadrami, didorong oleh semangat Pan-Islamisme dan mendapat dukungan dari konsul-konsul Ottoman, kemudian memperluas kritik mereka melalui media massa di Timur Tengah dan Turki, menggambarkan penindasan pemerintah kolonial terhadap umat Muslim di Hindia Belanda.
Hal ini berulang kali membuat pemerintah kolonial kesal, tetapi pada saat yang sama tidak mampu mengambil langkah-langkah efektif untuk mengatasinya. Di sisi lain, orang-orang Hadrami pada tahap ini tidak mencapai apa pun yang signifikan selain meningkatnya ketidakpuasan terhadap Belanda.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR