Nationalgeographic.co.id - Agar nyamuk jantan dan betina bisa kawin, frekuensi kepakan sayap betina sangat berperan penting sebagai "panggilan kawin". Ketika nyamuk jantan berhasil dirayu, proses kawin berlangsung di udara dalam waktu sangat cepat, tidak lebih dari 15 detik.
Sangat penting bagi para ilmuwan untuk mengetahui bagaimana nyamuk kawin. Pemahaman ini bisa membuka kemungkinan cara untuk mengontrol populasi nyamuk, khususnya yang menimbulkan penyakit mematikan pada manusia.
Sebagai solusinya, sebuah studi dari University of California (UC) Santa Barbara mengungkapkan bahwa kunci penting dalam perkawinan nyamuk adalah suara dari frekuensi sayap betina. Nyamuk jantan tidak akan bisa kawin jika indra pendengarannya tidak bekerja. Nyamuk jantan tulis bisa tidak tertarik untuk kawin ketika suara kepakan panggilan kawin ini dihasilkan.
Penelitian tersebut dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences bertajuk "Deafness due to loss of a TRPV channel eliminates mating behavior in Aedes aegypti males". Makalah ini dipublikasikan Senin, 4 November 2024.
Para peneliti berpendapat bahwa indra pendengaran sangat diperlukan bagi nyamuk jantan untuk kawin. Kepakan sayap betina menghasilkan frekuensi suara yang dapat membangkitkan hasrat jantan normal.
Nyamuk Aedes aegypti, spesies yang kerap menyebabkan demam berdarah dan malaria, biasanya memulai perkawinan ketika nyamuk betina mengepakkan sayapnya sekitar 500 hertz.
Sebagai respons dari frekuensi yang dihasilkan, nyamuk jantan akan menghasilkan dorongan perut. Mereka akan terbang dengan sayap yang dikepakkan dengan frekuensi 800 hertz. Mereka dengan cepat memodulasi frekuensi ini, terutama jika nyamuk betina berada di dekat mereka.
Nyamuk jantan dan betina akan bertemu di udara dan berpisah. Kemudian, nyamuk jantan bisa mencari pasangan potensial baru. Namun, dalam eksperimen yang dilakukan para peneliti, nyamuk jantan tuli hampir tidak bergerak ketika nyamuk betina mengepakan sayap.
"Anda bisa membiarkan mereka bersama nyamuk betina selama berhari-hari, dan mereka tidak akan kawin," kata Craig Montell, rekan peneliti di Department of Molecular, Cellular, and Developmental Biology, and the Neuroscience Research Institute UC Santa Barbara, dikutip dari rilis.
Kondisi ini hanya terjadi pada nyamuk jantan. Nyamuk betina yang tuli masih memiliki hasrat seksual, sehingga dapat menghasilkan suara lewat sayap. Setelah perkawinan, nyamuk betina umumnya tidak melakukannya lagi.
"Saya kira alasan mengapa temuan utama kami begitu mengejutkan adalah karena, pada sebagian besar organisme, perilaku kawin bergantung pada kombinasi beberapa isyarat sensorik," kata Emma Duge, mahasiswa doktoral yang terlibat dalam penelitian.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Benarkah Nyamuk Menyelamatkan Eropa dari Invasi Mongol?
Memahami nyamuk tuli
Tidak cukup melalui fenomena eksperimen, para peneliti mencari tahu apa yang menyebabkan nyamuk jantan tidak bisa bergerak. Tidak berfungsinya indra pendengaran ini diselidiki para peneliti pada neuron serangga tersebut.
Neuron pendengaran nyamuk berada di dasar antena, tepatnya dalam organ Johnston. Dalam kehidupan serangga, antena adalah organ penting sebagai sensor yang memiliki banyak peran, mulai dari penciuman sampai suhu inframerah. Kemampuan ini pula yang membuat nyamuk bisa mengetahui suhu tubuh mangsa yang bisa diisap darahnya.
Mengenai pendengaran, tim berfokus pada saluran sensorik yang disebut TRPVa dan gen terkaitnya. Mereka mencoba melumpuhkan gen tersebut melalui kode TRPVa pada nyamuk Aedes aegypti menggunakan CRISPR-Cas9, bioteknologi untuk memodifikasi DNA dalam genom dengan cepat dan detail.
Hasil pelumpuhan gen ini menyebabkan nyamuk tidak bereaksi terhadap suara. Ketika suara dibuat, organ Johnston yang biasanya menangkap rangsangan, tidak menunjukkan aktivitas listrik. Dari sinilah, para peneliti langsung berpendapat bahwa suara adalah kunci dari perkawinan nyamuk.
Mengontrol populasi nyamuk
Aedes aegypti sering membawa patogen mematikan kepada manusia. Setiap tahunnya, spesies ini bisa menyebabkan 100 juta orang per tahunnya terserang penyakit berbahaya seperti demam berdarah, zika, dan demam kuning.
Awalnya, adalah hal yang sulit untuk mengendalikan populasi nyamuk. Setiap negara punya imbauan dengan menutup genangan air, mengurangi sampah, dan menguras bak air.
Cara alternatif lainnya adalah dengan teknik sterilisasi serangga yang banyak dilakukan para ahli di berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena betina hanya melalukan satu kali perkawinan, sekalinya kawin dengan jantan yang telah disterilisasi, pembuahan kemungkinan besar tidak akan terjadi.
Namun, para peneliti mengkritisi teknik tersebut karena dibatasi oleh daya saing nyamuk betina. Agar tidak mendapatkan keturunan, nyamuk jantan masih harus mendekati nyamuk betina. Metode ini dianggap tidak cukup menekan populasi nyamuk untuk menurunkan jumlah keturunan.
Oleh karena itu, para peneliti berharap, metode genetik dengan mematikan indra pendengaran nyamuk jantan diharapkan dapat jadi pertimbangan alternatif dalam pengendalian populasi nyamuk.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR