Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda merasa begitu terenyuh hingga air mata tak terbendung? Jika ya, maka Anda perlu menyaksikan Grave of the Fireflies.
Film animasi legendaris yang satu ini telah membuat jutaan penonton di seluruh dunia terhanyut dalam kisah pilu dua saudara kandung yang berjuang bertahan hidup di tengah kekejaman perang.
Kini, Netflix telah menghadirkan kembali masterpiece ini, mulai 16 September 2024.
Diadaptasi dari kisah nyata yang mengharukan, Grave of the Fireflies bukan sekadar kartun biasa, tetapi sebuah karya seni yang mampu menggores relung hati terdalam.
Simak artikel ini untuk mengetahui mengapa film ini dianggap sebagai salah satu film animasi paling menyedihkan yang pernah ada.
Film yang 'berbeda' dari Ghibli
Studio Ghibli, bagi para penggemar animasi dunia, adalah nama yang tak asing lagi. Studio ini telah berhasil memikat hati penonton dengan karya-karya seperti Spirited Away dan Howl's Moving Castle.
Desain karakter yang unik, gaya animasi yang khas, serta cerita-cerita menarik menjadi ciri khas Ghibli. Baru-baru ini, film terbaru mereka (yang rilis pada 2023), The Boy and the Heron, berhasil meraih pendapatan tertinggi di box office Amerika Utara, tanpa promosi besar-besaran. Bahkan, beberapa penghargaan berhasil diraihnya, termasuk Oscar.
Di tengah deretan film fantasi penuh warna khas Ghibli, ada satu karya yang menonjol karena nuansanya yang berbeda: Grave of the Fireflies. Dirilis pada tahun 1988, film ini adalah adaptasi dari sebuah cerita pendek semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka, yang terinspirasi dari pengalaman pahitnya saat pemboman Kobe pada Perang Dunia II.
Grave of the Fireflies menceritakan kisah pilu dua bersaudara yang harus bertahan hidup sendirian di tengah kehancuran akibat perang. "Film ini dianggap sebagai salah satu film perang terbaik sepanjang masa, sekaligus menjadi bukti bahwa Ghibli mampu menghadirkan cerita yang menyentuh hati dan penuh makna, tak hanya sekadar hiburan semata," papar Laura Adams di laman Collider.
Namun, tahukah Anda bahwa film ini merupakan hasil adaptasi dari sebuah cerita pendek semi-otobiografi Jepang oleh Akiyuki Nosaka, yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya selama pemboman Kobe pada tahun 1945.
Baca Juga: Film Studio Ghibli Terbaru Terinspirasi dari Mitologi Kematian Jepang
Penulisnya sempat menolak berbagai tawaran adaptasi
Akiyuki Nosaka menulis Grave of the Fireflies pada masa ketika Jepang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, di balik kemakmuran itu, Nosaka menyimpan luka mendalam akibat kehilangan banyak anggota keluarga selama Perang Dunia II.
Rasa bersalah karena selamat sementara adik perempuannya, Keiko, meninggal dunia, terus menghantuinya. Untuk meredakan beban hatinya, Nosaka menuangkan kisah pilu tersebut ke dalam sebuah cerita pendek. Ia menggambarkan sosok kakak laki-laki yang penuh kasih sayang sebagai bentuk penyesalan dan harapan akan kehidupan yang berbeda.
Ketika buku itu diterbitkan pada OKtober 1967, banyak tawaran adaptasi film berdatangan. Namun, Nosaka menolak semua tawaran tersebut. Ia khawatir tidak ada yang bisa menggambarkan kehancuran perang sebaik dalam tulisannya. Selain itu, ia ragu ada anak laki-laki modern yang mampu memerankan karakter utama dengan meyakinkan.
Ketika Studio Ghibli menawarkan untuk mengadaptasi ceritanya menjadi film animasi, Nosaka awalnya terkejut. Namun, setelah melihat storyboard yang dibuat oleh Isao Takahata, ia merasa inilah satu-satunya cara untuk menghidupkan kembali kisah pilunya. Takahata berhasil menangkap esensi dari cerita Nosaka, bahkan membuatnya terasa lebih menyayat hati.
Berbeda dengan Hayao Miyazaki yang seringkali menggambarkan adegan perang secara langsung, Takahata memilih untuk fokus pada dampak perang terhadap kehidupan sehari-hari.
Pengalaman pribadinya yang pahit selama perang menjadi inspirasi bagi Takahata dalam menciptakan dunia yang begitu nyata dan menyedihkan dalam Grave of the Fireflies.
Dengan pendekatan yang unik dan berani, Takahata berhasil menciptakan sebuah karya animasi yang tak hanya menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran kita tentang penderitaan manusia akibat perang.
"Hal itulah yang pada akhirnya dianggap sebagai alasan Takahata berhasil menjadikan Grave of the Fireflies sebagai film Studio Ghibli yang paling menyedihkan," ungkap Adams.
Karya yang menantang batas
Salah satu alasan Akiyuki Nosaka skeptis dengan ide mengadaptasi bukunya menjadi animasi karena dia beranggapan bahwa animasi hanya cocok untuk cerita petualangan yang ringan. Namun, ketika melihat visi Isao Takahata, ia menyadari bahwa animasi bisa menjadi medium yang jauh lebih dalam dan menyentuh.
Baca Juga: Nurarihyon: Inspirasi Raja Iblis Muzan Kibutsuji di ‘Demon Slayer’
Grave of the Fireflies membuktikan bahwa animasi bukan sekadar hiburan belaka. Meskipun mengangkat tema yang berat, film ini berhasil memikat penonton dengan kombinasi animasi yang indah dan cerita yang menggugah.
Takahata tidak berusaha meniru kenyataan secara persis, melainkan menggunakan animasi sebagai alat untuk memperkaya pengalaman penonton. Dengan begitu, ia bisa menghadirkan simbolisme yang kuat, seperti kunang-kunang yang menjadi representasi singkat kebahagiaan di tengah kepedihan.
Lingkungan dalam film ini pun menjadi karakter tersendiri. Takahata memanfaatkan fleksibilitas animasi untuk menciptakan suasana yang mencekam dan menyayat hati.
Grave of the Fireflies menantang ekspektasi kita tentang film animasi. Film ini membuktikan bahwa animasi tidak terbatas pada genre fantasi atau petualangan, tetapi mampu menyajikan kisah yang begitu mendalam dan menyentuh.
"Bahkan, dapat masuk dalam jajaran film paling menyedihkan yang pernah diproduksi," ujar Adams.
Pelajaran tentang perdamaian
Di awal film, kita melihat seorang anak laki-laki yang menderita di sebuah stasiun kereta api karena kelaparan. Setelah kematiannya, ia bertemu kembali dengan roh adik perempuannya, dan bersama-sama mereka melihat kembali peristiwa yang menyebabkan kematian mereka.
Pilihan untuk langsung menunjukkan akhir cerita ini mungkin tampak mengejutkan, namun Isao Takahata memiliki alasannya. Dengan mengetahui nasib tragis para karakter sejak awal, penonton tidak perlu lagi menanti-nanti momen haru atau berharap akan keajaiban. Justru, kita diajak untuk lebih fokus pada perjalanan emosional kedua bersaudara ini.
Meskipun dipenuhi kesedihan, film ini juga menyajikan momen-momen indah yang penuh kasih sayang antara Seita dan Setsuko. Kita melihat bagaimana seorang anak laki-laki berusaha sekuat tenaga untuk melindungi adik perempuannya di tengah kondisi yang sangat sulit.
Namun, di balik usaha yang mulia itu, kita juga melihat kelemahan dan keterbatasan seorang anak yang harus menanggung beban yang terlalu berat.
Grave of the Fireflies bukan sekadar film anti-perang. Takahata sendiri menegaskan bahwa tujuannya bukanlah untuk menghentikan perang, melainkan untuk mengajak kita merenungkan dampak buruk perang terhadap kehidupan manusia.
"Ia menciptakan Grave of the Fireflies sebagai undangan untuk merenungkan pentingnya menjaga perdamaian dan betapa manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup," terang Adams.
Warisan animasi yang tak terlupakan
Studio Ghibli telah berhasil memikat hati penonton di seluruh dunia dengan karya-karya animasinya yang penuh keajaiban.
Mulai dari kisah petualangan mengharukan seperti Spirited Away hingga refleksi sederhana tentang kehidupan sehari-hari seperti Only Yesterday, setiap film Ghibli menyajikan perpaduan sempurna antara cerita yang menarik, animasi yang memukau, dan pesan yang mendalam.
Karya-karya mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi banyak generasi dan menjadi standar baru dalam dunia animasi.
Meskipun Grave of the Fireflies mungkin tidak sehangat dan penuh keajaiban seperti My Neighbor Totoro atau Ponyo, film ini jelas merupakan pengalaman yang tak terlupakan dengan pesan yang kuat yang terus bergema 36 tahun setelah perilisannya.
"Film ini juga berfungsi sebagai pengingat yang menyentuh tentang warisan yang diciptakan oleh pendiri Studio Ghibli yang kurang dikenal, Isao Takahata, dan film-film indah yang ia sutradarai," pungkas Adams.
KOMENTAR