Oleh Putri Selita Firdaus (Tim Litbang Ekspedisi Dayung Jelajah Nusantara Wanadri-Belitung 2024)
Nationalgeographic.co.id—Matahari siang itu menyengat kulit dengan teriknya, perlahan mengubah warna kulit menjadi kecoklatan. Sunscreen pun tak mampu lagi menahan sengatan matahari. Untunglah, ada beberapa pohon rindang yang bisa dijadikan tempat berteduh. Debu berterbangan di udara, terbawa angin lalu masuk ke hidung dan tenggorokan, menimbulkan rasa gatal yang mengganggu.
Dalam perjalanan ekspedisi Dayung Jelajah Nusantara Belitung 2024 dari Kecamatan Sijuk menuju Kecamatan Kelapa Kampit, tim mendapati deretan bangunan yang sangat menarik perhatian. Bangunan-bangunan tersebut memiliki ornamen khas Bali yang indah dan lengkap dengan Sanggah yang dihiasi sesaji. "Seperti berada di Pulau Dewata," ujar Putri Selita Firdaus, salah satu anggota tim litbang ekspedisi.
Rasa penasaran tim semakin berkobar. Mereka pun mendatangi Kantor Desa Pelepak Putih. Bahkan saat bertanya kepada warga sekitar, mereka menjawab dengan logat Bali yang kental. Semakin dalam tim menjelajahi wilayah tersebut, semakin kuat pula perasaan seperti sedang berada di Pulau Bali.
Setibanya di Kantor Desa, kami dikejutkan oleh pemandangan unik: deretan motor terparkir dengan kunci masih menempel. Ternyata, ini adalah hal yang biasa di Belitong. Pulau yang kecil dan aman, ditambah aturan adat yang kuat, membuat masyarakat saling percaya. Dari perbincangan dengan perangkat desa, kami pun memahami alasan mengapa ada sebuah kampung dengan mayoritas penduduk Bali di sini.
Untuk menggali lebih dalam tentang budaya dan adat istiadat setempat, kami disarankan untuk menemui Pak Suta, seorang tetua adat. Dengan semangat, kami menuju rumahnya yang asri, dikelilingi tanaman hijau dan sesaji segar. Di halaman yang luas, kami disambut hangat oleh Pak Suta. Semilir angin yang sejuk menerpa, sejenak melupakan terik matahari di luar.
Pak Suta dengan ramah menceritakan sejarah migrasi masyarakat Bali ke Belitong. Semuanya bermula pada tahun 1990, saat pemerintah Orde Baru ingin mengembangkan sektor pariwisata secara merata. Bali, dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya, menjadi destinasi wisata utama. Namun, pemerintah melihat potensi yang sama di Belitong, sebuah pulau dengan pemandangan unik namun minim budaya.
Untuk memperkaya budaya dan pariwisata di Belitong, pemerintah memutuskan untuk membawa masyarakat Bali ke pulau ini. Dengan begitu, diharapkan Belitong bisa menjadi destinasi wisata yang setenar Bali, baik dari segi alam maupun budaya.
Program Transmigrasi Pariwisata membawa banyak masyarakat Bali ke Belitong. Namun, saat itu, Belitong belum memiliki fasilitas penunjang pariwisata seperti hotel. Kondisi ini, ditambah dengan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru, membuat hampir setengah dari transmigran Bali memilih pulang.
Malaria dan filariasis yang merajalela semakin memperparah situasi. Banyak yang tidak tahan dengan penyakit ini. Beberapa keluarga yang bertahan kemudian berinisiatif mencari solusi. Mereka mengajak pemerintah untuk mendatangkan tukang kayu dan perajin dari Bali guna membangun desa wisata. Tujuannya adalah untuk memberikan kenyamanan bagi transmigran yang rindu kampung halaman.
Seiring berjalannya waktu, ditemukannya tambang timah di Belitong menarik minat banyak orang untuk datang. Mereka datang untuk bekerja di pertambangan, berdagang, atau mengembangkan bisnis pariwisata. Hal ini sedikit demi sedikit mengubah wajah Belitong.
Desa Pelepak Putih kini telah resmi menjadi Desa Wisata. Kehadiran masyarakat Bali yang membawa serta budaya dan adat istiadatnya telah menjadi daya tarik tersendiri. Salah satu contohnya adalah upacara Odalan yang rutin diadakan untuk memperingati hari jadi pura. Upacara ini tidak hanya menjadi momen sakral, tetapi juga ajang untuk menampilkan berbagai seni dan budaya Bali.
Pak Nyoman, salah seorang warga Bali di Desa Pelepak Putih, pernah berkata, “Sejauh apapun pergi kebudayaan serta adat istiadat harus tetap dibawa sebagai sebuah identitas alamiah yang melekat pada masing – masing individu.” Kata-kata Pak Nyoman ini mengingatkan kita akan kuatnya akar budaya Bali, yang terus dilestarikan oleh masyarakatnya, di mana pun mereka berada. Mulai dari logat bicara hingga pakaian adat, semuanya menjadi simbol identitas dan kebanggaan.
Uniknya, masyarakat Belitong menyambut baik kedatangan masyarakat Bali. Ada sebuah legenda yang beredar di masyarakat Belitong, yang menyebutkan bahwa Pulau Belitong sebenarnya adalah bagian dari Pulau Bali yang terpotong. Konon, ada seorang putri dari kerajaan Bali yang diasingkan ke hutan karena sakit. Putri ini kemudian hamil dan melahirkan seorang anak. Raja yang marah lalu memotong bagian pulau Bali tempat putri itu diasingkan dan melemparkannya ke laut. Berkat bantuan Datuk Malik Angin, potongan pulau itu kemudian menjadi Pulau Belitong.
Dalam perbincangan hangat siang itu, kami membahas pentingnya menjalin kedekatan dengan budaya kita sendiri. Di tengah arus globalisasi yang deras, kita perlu semakin mengenal dan menghargai adat istiadat yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Adat istiadat ini bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga sumber kekuatan yang dapat kita andalkan untuk menghadapi perubahan zaman.
Melestarikan budaya dan adat istiadat adalah tanggung jawab kita bersama. Jika bukan kita yang menjaga warisan leluhur, siapa lagi? Budaya kita menyimpan banyak nilai luhur, keunikan, dan keajaiban yang perlu kita lestarikan. Dengan memahami dan menghargai budaya kita, kita akan memiliki intuisi yang kuat dan menjadi generasi yang lebih baik.
Meninggalkan budaya leluhur adalah sebuah kesalahan besar. Sebagai generasi muda, kita memiliki tugas untuk mencintai tanah air dan segala budayanya. Dengan memahami potensi budaya kita, kita dapat ikut serta dalam upaya pelestariannya.
Baca Juga: Bakal Tempuh Jarak 450 Km, Tim Dayung Jelajah Nusantara di Belitung Resmi Dilepas
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR