Boer memperkenalkan istilah 'pembangunan berkelanjutan secara ekologis, yang dia anggap lebih sesuai. Istilah ini memperkuat pengaruh lingkungan dan menegaskan sikap yang lebih tegas dalam kerangka pembangunan, yang beranjak dari konsep-konsep yang tradisionalnya antroposentris.
"Dalam konteks hukum nasional Indonesia, paradigma 'pembangunan berkelanjutan secara ekologis' sebagian besar masih bersifat teoretis dan belum diterapkan secara praktis," tegas Rozi dan Sharfina.
Istilah pembangunan berkelanjutan secara ekologis ini menjadi inti dari prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009).
Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "upaya sadar dan terencana yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan kualitas hidup generasi masa kini dan masa depan."
Namun, yang perlu diingat sebagai perwujudan hukum lingkungan, alat-alat hukum lingkungan harus mampu menjadi instrumen yang berkontribusi terhadap pelestarian bumi agar selalu dalam kondisi aman.
Hal ini harus dilaksanakan secara sinkron dengan instrumen hukum lainnya, terutama hukum ekonomi. Kebijakan tentang ekspor pasir laut idealnya berfungsi sebagai instrumen rekonsiliasi.
Dengan kata lain, kebijakan tersebut harus memperjelas keselarasan prasyarat dalam hukum lingkungan, menunjukkan keterkaitan antara kerangka hukum yang berlaku (termasuk norma, perjanjian, prinsip, dan konsep) dalam memenuhi fungsi rekonsiliasi ini. Ketika elemen-elemen ini bertentangan, fungsi rekonsiliasi norma hukum kemungkinan akan menjadi tidak efektif dan akan menghasilkan dampak lingkungan yang merugikan.
Dalam hal ekspor pasir laut, keberadaan PP Nomor 26 Tahun 2023 adalah bentuk inkonsistensi antara upaya pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan yang merupakan arah pembangunan nasional di Indonesia.
Potensi dampak negatif eksploitasi pasir laut yang mengancam operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan secara ekologis ini dapat dirumuskan dalam beberapa poin penting, salah satunya dampak sosial dan ekonomi.
Dampak Ekonomi dan Sosial Penambangan Pasir Laut
Dalam mengidentifikasi dampak negatif penambangan dan ekspor pasir laut terhadap lingkungan, juga perlu mengidentifikasi dampak ekonomi dan sosial untuk menemukan akar permasalahannya.
Baca Juga: Blue Carbon: Sedimen Dasar Laut, 'Bintang Utama' Penyerapan Karbon yang Pantang Diusik
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR