Nationalgeographic.co.id—Pengelolaan produk sedimentasi di laut adalah upaya holistik dalam perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan Produk Sedimentasi Laut untuk menjaga ketahanan daya dukung ekosistem, terutama pesisir dan laut.
Aturan ekspor pasir laut ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dengan negara memegang peran kunci dalam perlindungan dan pelestarian laut.
Hal itu berarti pemerintah perlu mengendalikan pengelolaan sumber daya laut, termasuk proses alami dan buatan yang dapat mengganggu pengelolaan sumber daya laut, dalam konteks eksplorasi, penambangan, dan ekspor pasir laut, yang dilakukan melalui penerapan kebijakan terkait Produk Sedimentasi Laut untuk meningkatkan kesehatan laut.
Meski begitu jika menelaah kebijakan ekspor pasir laut melalui perspektif hukum lingkungan, dapat dilihat inkosistensi terhadap realisasi pembangunan berkelanjutan.
Hal tersebut diungkap Rozi Beni dan Sharfina Milla Atsari dalam Potential Adverse Impacts Of Sea Sand Export Policy On Ecologically Sustainable Development In Indonesia yang terbit dalam jurnal Al-Daulah.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Hukum Nasional Indonesia
"Konsep pembangunan berkelanjutan berawal dari Konferensi Stockholm tahun 1972 yang dihadiri oleh perwakilan dari 113 negara di seluruh dunia. Konferensi Stockholm menghasilkan dua instrumen, yaitu Deklarasi Lingkungan Hidup Manusia dan Rencana Aksi untuk Lingkungan Hidup Manusia. Kedua instrumen ini memberikan kerangka untuk 'konsep embrio' pembangunan ekonomi yang berkelanjutan secara ekologis," tulis Rozi dan Sharfina.
Selanjutnya, program Our Common Future yang muncul dari Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED), sebuah entitas otonom yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, menggunakan forum ini untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan.
Hal ini dicirikan dalam bentuk kemajuan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kapasitas generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
"Istilah ini dipandang rentan terhadap interpretasi antroposentris dan utilitarianis. Dengan hanya menganggap lingkungan sebagai elemen pendukung kebutuhan manusia," lanjutnya.
Oleh karena itu, Ben Boer dalam The Globalisation of Environmental Law: The Role of the United Nations memulai diskusi tentang pembangunan berkelanjutan, dengan tujuan untuk menggeser menuju budaya keberlanjutan.
Baca Juga: Tambang Pasir: Kebutuhan, Dampak Buruk, dan Alasan Pasir Gurun Tak Bisa Digunakan
Boer memperkenalkan istilah 'pembangunan berkelanjutan secara ekologis, yang dia anggap lebih sesuai. Istilah ini memperkuat pengaruh lingkungan dan menegaskan sikap yang lebih tegas dalam kerangka pembangunan, yang beranjak dari konsep-konsep yang tradisionalnya antroposentris.
"Dalam konteks hukum nasional Indonesia, paradigma 'pembangunan berkelanjutan secara ekologis' sebagian besar masih bersifat teoretis dan belum diterapkan secara praktis," tegas Rozi dan Sharfina.
Istilah pembangunan berkelanjutan secara ekologis ini menjadi inti dari prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009).
Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "upaya sadar dan terencana yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan kualitas hidup generasi masa kini dan masa depan."
Namun, yang perlu diingat sebagai perwujudan hukum lingkungan, alat-alat hukum lingkungan harus mampu menjadi instrumen yang berkontribusi terhadap pelestarian bumi agar selalu dalam kondisi aman.
Hal ini harus dilaksanakan secara sinkron dengan instrumen hukum lainnya, terutama hukum ekonomi. Kebijakan tentang ekspor pasir laut idealnya berfungsi sebagai instrumen rekonsiliasi.
Dengan kata lain, kebijakan tersebut harus memperjelas keselarasan prasyarat dalam hukum lingkungan, menunjukkan keterkaitan antara kerangka hukum yang berlaku (termasuk norma, perjanjian, prinsip, dan konsep) dalam memenuhi fungsi rekonsiliasi ini. Ketika elemen-elemen ini bertentangan, fungsi rekonsiliasi norma hukum kemungkinan akan menjadi tidak efektif dan akan menghasilkan dampak lingkungan yang merugikan.
Dalam hal ekspor pasir laut, keberadaan PP Nomor 26 Tahun 2023 adalah bentuk inkonsistensi antara upaya pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan yang merupakan arah pembangunan nasional di Indonesia.
Potensi dampak negatif eksploitasi pasir laut yang mengancam operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan secara ekologis ini dapat dirumuskan dalam beberapa poin penting, salah satunya dampak sosial dan ekonomi.
Dampak Ekonomi dan Sosial Penambangan Pasir Laut
Dalam mengidentifikasi dampak negatif penambangan dan ekspor pasir laut terhadap lingkungan, juga perlu mengidentifikasi dampak ekonomi dan sosial untuk menemukan akar permasalahannya.
Baca Juga: Blue Carbon: Sedimen Dasar Laut, 'Bintang Utama' Penyerapan Karbon yang Pantang Diusik
Ketergantungan masyarakat pada nilai ekonomi penambangan pasir adalah penyebab perlawanan publik terhadap larangan penambangan pasir laut. Dibukanya kembali keran ekspor pasir akan meningkatkan penambangan pasir di daerah pesisir di berbagai wilayah di Indonesia.
Eksploitasi pasir laut memicu aktivitas ekonomi di kawasan laut yang berdampak pada pergeseran karakteristik demografi masyarakat setempat.
Meningkatnya aktivitas penambangan pasir, di satu sisi dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena membuka lapangan kerja selain sebagai nelayan dan petani.
Kebiasaan masyarakat atau aktivitas ekonomi dasar yang dilakukan oleh masyarakat berubah seiring dengan masifnya penambangan pasir, dari nelayan menjadi pekerja di perusahaan penambangan pasir.
Aktivitas ekonomi baru ini dalam waktu yang relatif singkat memberikan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Tidak hanya penambang pasir, tetapi juga nelayan dan petani.
Jika eksplorasi dan penambangan pasir tidak diatur, hal ini akan mengganggu aktivitas nelayan dan mempengaruhi mata pencaharian mereka dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Rusaknya lingkungan secara signifikan berdampak pada kegiatan pariwisata, karena kerusakan tersebut mempengaruhi keindahan alam yang melekat. Dampak jangka panjang dari aktivitas penambangan pasir ditemukan di pesisir Pantai Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan.
Aktivitas penambangan pasir laut yang dilakukan sejak tahun 2017 di pesisir Pantai Galesong telah menyebabkan hilangnya area penangkapan ikan. Akibatnya, nelayan yang awalnya membutuhkan waktu 12 hingga 24 jam untuk melaut sejauh 1 hingga 10 mil untuk menangkap ikan, karena aktivitas penambangan pasir harus melakukan upaya ekstra untuk pergi ke perairan dalam.
Berangkat ke perairan dalam membutuhkan waktu sekitar 15 hari untuk menangkap ikan. Ini berarti nelayan Pantai Galesong membutuhkan waktu 15 kali lebih lama untuk melaut.
Begitu juga di beberapa komunitas di Bantul, Yogyakarta, terdapat bukti empiris yang menunjukkan pengakuan terhadap prospek ekonomi yang terkait dengan penambangan pasir laut.
Beberapa individu dari komunitas ini menyatakan bahwa, dibandingkan dengan produksi beras, penambangan pasir lebih menguntungkan dan membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja.
Meskipun aktivitas penambangan pasir laut memiliki nilai ekonomi yang relatif positif bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, perlu digarisbawahi bahwa pengurangan garis pantai dan tenggelamnya pulau-pulau kecil adalah bentuk kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan.
Artinya, keuntungan dari ekspor pasir hanya bertahan sementara. Di sisi lain, dampak lingkungan yang dirasakan akan berlangsung selamanya.
Jika hal ini terjadi dan karakteristik Struktur Sosial Ekonomi (SSE) masyarakat pesisir telah beralih dari nelayan dan petani menjadi penambang pasir, maka akan terjadi gangguan pada rantai kehidupan dan kesejahteraan dalam demografi masyarakat pesisir.
Utuk meghidupkan kembali tradisi melaut nantinya juga membutuhkan lebih banyak sumber daya dan pelatihan ulang, karena garis pantai telah berkurang sehingga area penangkapan ikan berada lebih jauh dari daratan.
Masyarakat harus melakukan upaya tambahan untuk menjelajahi perairan yang lebih dalam di mana kondisi ekosistem ikan tetap kondusif. Jarak penangkapan ikan yang lebih jauh tentu membutuhkan lebih banyak modal (biaya, waktu, dan tenaga) yang harus dikeluarkan untuk menangkap ikan, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan masyarakat yang kembali bergantung pada hasil tangkapan ikan.
Selain itu, hak asasi manusia masyarakat pesisir untuk hidup di lingkungan yang sehat dan nyaman juga terancam akibat pengurangan garis pantai. Penyusutan ini disebabkan oleh tingginya laju penambangan dan eksploitasi pasir laut yang tidak diimbangi dengan tindakan pemantauan dan restorasi yang tepat serta cerdas secara ekologis.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR