Untuk menjawab pertanyaan ini, para peneliti menggunakan citra satelit untuk memeriksa sejarah kawasan yang gundul, baik sebelum maupun sesudah pembukaan lahan. Mereka menemukan bahwa sebagian besar hutan terdegradasi, misalnya akibat penebangan selektif, sebelum dibuka, yang menunjukkan bahwa permintaan kayu bukanlah penyebab utama terciptanya lahan kosong.
Studi kasus di wilayah dengan lahan kosong yang luas juga menemukan bahwa pembukaan lahan meningkatkan, bukannya menurunkan, harga lahan, yang selanjutnya menunjukkan bahwa kayu bukanlah pendorong utama.
Setelah pembukaan lahan hutan, para peneliti menemukan bahwa beberapa kawasan kosong akhirnya diubah menjadi lahan produktif. Dari lahan kosong yang dibuka secara mekanis, sekitar seperempatnya diubah menjadi lahan produktif dalam waktu lima tahun sejak peristiwa penggundulan hutan dan setengahnya digunakan secara produktif pada tahun 2020. Dalam kasus ini, perkebunan kelapa sawit merupakan hasil yang paling umum.
“Sekitar 80% lahan kosong yang dibuka secara mekanis yang diubah menjadi lahan produktif menjadi perkebunan kelapa sawit,” kata Parker. “Ini berarti bahwa dampak lingkungan sebenarnya dari kelapa sawit kemungkinan jauh lebih besar daripada area yang ditanami segera setelah hilangnya hutan, dan berpotensi lebih besar daripada total area yang ditebangi yang saat ini ditanami kelapa sawit.”
Ada yang unik dari usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Para peneliti menemukan bahwa dua pertiga dari semua perkebunan kelapa sawit yang dibangun di area yang ditebangi, ditanam setelah jeda setidaknya satu tahun. Penggerak penggundulan hutan utama lainnya, seperti penggunaan lahan petani kecil atau perkebunan pohon, hampir selalu dibangun segera setelah pembukaan lahan.
“Citra satelit tidak dapat memberi tahu kita secara pasti bagaimana penciptaan lahan kosong dan industri kelapa sawit saling terkait, tetapi tren penggunaan lahan menunjukkan adanya hubungan,” ungkap Parker.
“Dalam beberapa kasus, perusahaan atau individu mungkin bermaksud menjual lahan yang gundul tetapi menunggu harga lahan naik. Atau mereka mungkin berencana untuk mengembangkan lahan tersebut nanti, menyimpannya sebagai bagian dari bank tanah mereka.”
“Dalam kasus lain, bibit muda mungkin telah mati sebelum terdeteksi dalam citra satelit, atau konflik dengan masyarakat atau pemegang konsesi lain dapat menunda penanaman,” jelas Parker.
Kini, pemerintah dan perusahaan swasta semakin kuat mengadopsi kebijakan yang dirancang untuk menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan komoditas. Berdasarkan Kebijakan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang akan diterapkan akhir tahun 2024, komoditas tertentu, termasuk minyak sawit, tidak dapat diimpor ke Uni Eropa jika diproduksi di lahan yang gundul setelah tahun 2020.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lahan yang sangat luas yang gundul sebelum tahun 2020 yang kurang dimanfaatkan,” ujar Matthew Hansen, seorang profesor di University of Maryland yang juga menjadi salah satu periset dalam penelitian ini.
“Pemanfaatan lahan ini untuk perluasan komoditas dapat memungkinkan Indonesia untuk mematuhi EUDR sekaligus melindungi hutan alam yang tersisa,” tegas Hansen.
Temuan dari penelitian tersebut mencakup beberapa berita yang menggembirakan bagi hutan yang tersisa di negara ini. Dari tahun 2017-2020, Indonesia mengalami tingkat deforestasi terendah yang diamati selama seluruh periode penelitian.
“Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara hutan tropis yang berhasil memperlambat deforestasi,” kata Matthew Hansen. “Mengingat banyaknya lahan kosong yang tersedia saat ini, Indonesia dapat menghentikan penebangan hutan sama sekali sambil tetap meningkatkan produksi minyak sawit.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR