Nationalgeographic.co.id—Sebuah makalah studi yang terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences Juli 2024 mengungkapkan betapa luas lahan gundul menganggur di Indonesia. Lahan Indonesia yang berada di wilayah hutan tropis ini gundul akibat ditebangi, menurut makalah studi bertajuk "Land in limbo: Nearly one third of Indonesia’s cleared old-growth forests left idle" itu.
Selama ini Indonesia dikenal dengan hutan hujannya yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan lahan gambutnya yang kaya karbon. Sayangnya, sejak 1990, Indonesia telah kehilangan 25% hutan primernya.
Lebih dari seperempat (7,8 juta hektare) lahan gundul di Indonesia itu telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit sejak 2020. Namun area lahan gundul yang lebih luas lagi, yakni sekitar 8,8 juta hektare, masih kosong dan dibiarkan menganggur.
Makalah studi tersebut, yang berfokus pada tren penggundulan hutan Indonesia sejak 1991 hingga 2020, juga menemukan bahwa lebih dari separuh lahan gundul di Indonesia dibiarkan menganggur setidaknya selama satu tahun setelah pembukaan hutan, dan 44% tetap menganggur setidaknya selama lima tahun.
“Hutan tropis tua merupakan sumber daya yang sangat berharga, baik secara lokal maupun global,” kata Diana Parker, seorang peneliti pascadoktoral di Departemen Ilmu Geografi University of Maryland dan penulis utama makalah studi tersebut.
“Fakta bahwa area hutan tua yang begitu luas telah ditebangi lalu dibiarkan kosong sungguh mengejutkan,” ujar Parker seperti dikutip dari keterangan tertulis University of Maryland.
Untuk memahami mengapa begitu banyak lahan kosong tercipta di Indonesia, para peneliti pertama-tama harus menyelidiki bagaimana hutan di negeri ini ditebangi.
Selama peristiwa El Niño 2015, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menciptakan krisis kesehatan masyarakat yang besar baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangga. Beberapa peneliti berspekulasi bahwa kebakaran hutan seperti yang terjadi pada tahun 2015 sebagian besar bertanggung jawab atas area lahan nonhutan yang luas dan tidak terpakai.
Namun, penelitian ini menemukan bahwa kebakaran yang mengakibatkan hilangnya tutupan pohon menyumbang kurang dari setengah dari semua pembukaan lahan kosong. Para peneliti dalam studi ini menemukan bahwa 54% lahan itu ditebangi secara mekanis, baik melalui pembukaan manual atau menggunakan mesin berat.
“Kebakaran hutan dapat terjadi secara disengaja atau tidak disengaja,” kata Parker.
“Namun, pembukaan lahan secara mekanis tidak hanya disengaja tetapi juga dapat memakan waktu dan biaya," tegas Parker. "Setelah kami menyadari bahwa lebih dari separuh lahan kosong tidak disebabkan oleh kebakaran, hal itu menimbulkan pertanyaan baru: mengapa orang-orang menghabiskan begitu banyak upaya untuk menebang hutan lalu membiarkan lahan kosong?”
Baca Juga: Meningkatkan Produktivitas Pertanian dengan Memanfaatkan Potensi Laut
Untuk menjawab pertanyaan ini, para peneliti menggunakan citra satelit untuk memeriksa sejarah kawasan yang gundul, baik sebelum maupun sesudah pembukaan lahan. Mereka menemukan bahwa sebagian besar hutan terdegradasi, misalnya akibat penebangan selektif, sebelum dibuka, yang menunjukkan bahwa permintaan kayu bukanlah penyebab utama terciptanya lahan kosong.
Studi kasus di wilayah dengan lahan kosong yang luas juga menemukan bahwa pembukaan lahan meningkatkan, bukannya menurunkan, harga lahan, yang selanjutnya menunjukkan bahwa kayu bukanlah pendorong utama.
Setelah pembukaan lahan hutan, para peneliti menemukan bahwa beberapa kawasan kosong akhirnya diubah menjadi lahan produktif. Dari lahan kosong yang dibuka secara mekanis, sekitar seperempatnya diubah menjadi lahan produktif dalam waktu lima tahun sejak peristiwa penggundulan hutan dan setengahnya digunakan secara produktif pada tahun 2020. Dalam kasus ini, perkebunan kelapa sawit merupakan hasil yang paling umum.
“Sekitar 80% lahan kosong yang dibuka secara mekanis yang diubah menjadi lahan produktif menjadi perkebunan kelapa sawit,” kata Parker. “Ini berarti bahwa dampak lingkungan sebenarnya dari kelapa sawit kemungkinan jauh lebih besar daripada area yang ditanami segera setelah hilangnya hutan, dan berpotensi lebih besar daripada total area yang ditebangi yang saat ini ditanami kelapa sawit.”
Ada yang unik dari usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Para peneliti menemukan bahwa dua pertiga dari semua perkebunan kelapa sawit yang dibangun di area yang ditebangi, ditanam setelah jeda setidaknya satu tahun. Penggerak penggundulan hutan utama lainnya, seperti penggunaan lahan petani kecil atau perkebunan pohon, hampir selalu dibangun segera setelah pembukaan lahan.
“Citra satelit tidak dapat memberi tahu kita secara pasti bagaimana penciptaan lahan kosong dan industri kelapa sawit saling terkait, tetapi tren penggunaan lahan menunjukkan adanya hubungan,” ungkap Parker.
“Dalam beberapa kasus, perusahaan atau individu mungkin bermaksud menjual lahan yang gundul tetapi menunggu harga lahan naik. Atau mereka mungkin berencana untuk mengembangkan lahan tersebut nanti, menyimpannya sebagai bagian dari bank tanah mereka.”
“Dalam kasus lain, bibit muda mungkin telah mati sebelum terdeteksi dalam citra satelit, atau konflik dengan masyarakat atau pemegang konsesi lain dapat menunda penanaman,” jelas Parker.
Kini, pemerintah dan perusahaan swasta semakin kuat mengadopsi kebijakan yang dirancang untuk menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan komoditas. Berdasarkan Kebijakan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang akan diterapkan akhir tahun 2024, komoditas tertentu, termasuk minyak sawit, tidak dapat diimpor ke Uni Eropa jika diproduksi di lahan yang gundul setelah tahun 2020.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lahan yang sangat luas yang gundul sebelum tahun 2020 yang kurang dimanfaatkan,” ujar Matthew Hansen, seorang profesor di University of Maryland yang juga menjadi salah satu periset dalam penelitian ini.
“Pemanfaatan lahan ini untuk perluasan komoditas dapat memungkinkan Indonesia untuk mematuhi EUDR sekaligus melindungi hutan alam yang tersisa,” tegas Hansen.
Temuan dari penelitian tersebut mencakup beberapa berita yang menggembirakan bagi hutan yang tersisa di negara ini. Dari tahun 2017-2020, Indonesia mengalami tingkat deforestasi terendah yang diamati selama seluruh periode penelitian.
“Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara hutan tropis yang berhasil memperlambat deforestasi,” kata Matthew Hansen. “Mengingat banyaknya lahan kosong yang tersedia saat ini, Indonesia dapat menghentikan penebangan hutan sama sekali sambil tetap meningkatkan produksi minyak sawit.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR