Nationalgeographic.co.id—Minyak sawit, komoditas yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, ternyata menyimpan paradoks yang mendalam.
Di satu sisi, ia memberikan devisa negara dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun di sisi lain, ekspansi perkebunan sawit juga mengancam kelestarian lingkungan, terutama hutan dan lahan gambut.
Upaya untuk menekan laju deforestasi terkait industri minyak sawit memang sudah dilakukan. Bahkan bisa dibilang, upaya tersebut sudah jauh signifikan dibanding beberapa dekade lalu.
Namun, upaya tersebut masih jauh dari cukup untuk menekan laju kerusakan lingkungan termasuk sumbangannya terhadap perubahan iklim.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Mari kita simak uraian lengkap berdasarkan laporan dari Stockholm Environment Institute (SEI), suatu lembaga penelitian nirlaba internasional yang menangani tantangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, berikut ini.
Dua sisi mata uang industri minyak sawit
Dengan produksi minyak sawit mentah mencapai angka fantastis 47 juta ton pada tahun 2023, Indonesia semakin memantapkan posisinya sebagai pemimpin pasar global. Negara ini menyumbang 54% dari total ekspor minyak sawit dunia, sebuah prestasi yang menegaskan dominasinya di sektor ini.
Kontribusi industri minyak sawit terhadap perekonomian Indonesia pun sangat signifikan, yakni sebesar 4,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dari itu, sektor ini menjadi salah satu penyumbang lapangan pekerjaan terbesar, dengan melibatkan lebih dari 16,2 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pertumbuhan pesat ini didorong oleh tingginya permintaan global akan produk berbasis minyak sawit, meskipun pasar domestik juga menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Meskipun perkebunan kelapa sawit telah menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia, namun pertumbuhannya yang pesat telah menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sekitar 3 juta hektar hutan tua telah ditebang untuk memenuhi kebutuhan industri kelapa sawit.
Deforestasi skala besar ini tidak hanya mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati, tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim global melalui emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran hutan dan pengeringan lahan gambut.
Baca Juga: Minyak Mikroba, Calon Penantang Minyak Sawit yang Diklaim Lebih Ramah Lingkungan
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR