Belakangan, dinamika perdagangan minyak sawit Indonesia ke ketiga negara ini mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 2013, India dan Uni Eropa menjadi dua importir terbesar minyak sawit Indonesia, masing-masing menguasai 29% dan 17% dari total ekspor.
Namun, pada tahun 2022, pangsa pasar kedua negara ini mengalami penurunan menjadi 12% dan 10% saja. Sebaliknya, China berhasil meningkatkan pangsa pasarnya secara signifikan dari 11% pada tahun 2013 menjadi 14% pada tahun 2022, sehingga menjadikannya sebagai importir minyak sawit Indonesia terbesar.
Selain perubahan yang terjadi pada pasar ekspor, terdapat tren yang menarik dalam konsumsi minyak sawit di dalam negeri. Penggunaan minyak sawit dalam negeri mengalami peningkatan yang signifikan dari 32% dari total produksi pada tahun 2018 menjadi 44% pada tahun 2022.
Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tersebut menunjukan peningkatan konsumsi domestik ini didorong oleh meningkatnya permintaan untuk minyak sawit dalam industri biodiesel dan oleokimia, serta untuk produk makanan.
Keputusan pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan penggunaan minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan domestik, terutama untuk industri biodiesel dan oleokimia, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar minyak sawit.
Kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk mengalihkan pasokan minyak sawit dari pasar ekspor ke pasar domestik, seperti kuota ekspor dan pungutan ekspor, telah berhasil menekan harga minyak sawit di tingkat produsen.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga telah memicu kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, terutama pada akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022.
Ini mendorong pemerintah untuk mengadopsi berbagai kebijakan yang bertujuan memfokuskan minyak sawit pada pasar domestik, termasuk penerapan kuota, pungutan, dan larangan ekspor. Kebijakan dan regulasi ini kemungkinan akan mendukung pertumbuhan konsumsi domestik yang berkelanjutan melebihi tahun 2022.
Meskipun demikian, pemerintah tetap berkomitmen untuk mendorong hilirisasi industri dan meningkatkan nilai tambah dari komoditas minyak sawit.
Dengan adanya kebijakan yang lebih terarah dan koordinasi yang baik antara pemerintah, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya, diharapkan dapat tercipta keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan domestik dan daya saing produk minyak sawit di pasar global.
Analisis SEI menunjukkan bahwa meskipun India, China, dan Indonesia sendiri merupakan pasar minyak sawit terbesar untuk minyak sawit Indonesia, namun ketiga negara ini juga memiliki jejak lingkungan yang lebih signifikan dibandingkan dengan pasar-pasar lainnya jika dikaitkan dengan sistem rantai pasok.
Baca Juga: Untuk Keberlanjutan Lingkungan, Pola Makan Vegan Bukanlah yang Terbaik
Data menunjukkan bahwa minyak sawit yang diekspor ke ketiga negara tersebut cenderung berasal dari rantai pasok dengan tingkat paparan deforestasi yang lebih tinggi, sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan minyak sawit yang diekspor ke Uni Eropa.
Dengan volume impor yang besar, kontribusi ketiga negara ini terhadap total deforestasi akibat produksi minyak sawit di Indonesia sangat signifikan. Sekitar 75% dari total paparan deforestasi akibat produksi minyak sawit Indonesia dapat dikaitkan dengan minyak sawit yang diekspor ke India, China, dan Indonesia sendiri.
Sebaliknya, meskipun pasar Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris memiliki persentase yang sangat tinggi dari minyak sawit yang bersumber dari perusahaan dengan komitmen nol deforestasi (98%), namun kontribusi ketiga pasar ini terhadap total produksi minyak sawit Indonesia hanya sebesar 9% pada tahun 2022.
Sumbangan besar terhadap emisi gas rumah kaca
Produksi minyak sawit di Indonesia telah diidentifikasi sebagai salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca (GRK) di negara ini. Praktik-praktik seperti pembukaan lahan gambut, pengeringan lahan gambut, dan kebakaran hutan telah menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Studi SEI menunjukkan bahwa sektor minyak sawit di Indonesia rata-rata melepaskan 220 juta ton setara karbon dioksida setiap tahunnya selama periode 2015-2022. Angka ini setara dengan hampir seperlima dari total emisi GRK Indonesia pada tahun 2022, yang mencapai 1,23 gigaton.
Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa meskipun hanya 14% dari total perkebunan kelapa sawit (2,2 juta ha) di Indonesia yang berada di atas lahan gambut, namun lahan gambut ini berkontribusi secara signifikan terhadap total emisi sektor minyak sawit.
Penurunan permukaan tanah gambut dan kebakaran hutan yang sering terjadi di lahan gambut yang telah dikeringkan bertanggung jawab atas hampir 92% dari total emisi GRK sektor minyak sawit selama periode yang sama.
Fluktuasi emisi GRK sektor minyak sawit sebagian besar memang dipengaruhi oleh fenomena iklim seperti El Nino pada 2015 dan 2019 yang memicu kekeringan dan meningkatkan risiko kebakaran hutan. Namun, terlepas dari fluktuasi tahunan, tingkat emisi secara keseluruhan tetap relatif tinggi.
Tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah Indonesia dan industri minyak sawit dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengurangi emisi GRK, sambil tetap menjaga keberlanjutan produksi dan memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR