Nationalgeographic.grid.id—Puyi merupakan kaisar terakhir dari Dinasti Qing sekaligus kaisar terakhir dari Kekaisaran Tiongkok. Ia turun dari takhta Dinasti Qing pada tahun 1912.
Namun pada tahun 1034, Puyi diangkat menjadi Kaisar Kangde dari Kekaisaran Manchuria Besar, Manchukuo. Manchukuo menduduki wilayah yang dulunya menjadi provinsi-provinsi timur laut Tiongkok.
Judul utama halaman depan New York Times saat itu menyatakan “Pu Yi Naik Takhta Kekaisaran Manchukuo dengan Ritual yang Berusia Beberapa Abad”.
“Judul tersebut mencerminkan harapan orang Jepang yang telah mengatur peristiwa pengangkatan Puyi,” tulis James Carter di laman The China Project.
Manchukuo telah didirikan tepat 2 tahun sebelumnya, beberapa bulan setelah pasukan Jepang menyerbu provinsi-provinsi paling timur Tiongkok. Sebelumnya Jepang telah menginvasi Korea dan memperluas jajahannya hingga ke Tiongkok.
Invasi Manchuria dimulai pada bulan September 1931 dan berlangsung hingga Harbin jatuh pada bulan Februari 1932. Beberapa hari kemudian, “Manchukuo” secara resmi didirikan.
Manchukuo telah dipisahkan dari wilayah Republik Tiongkok melalui kekuatan senjata. Bahkan sebelum negara baru itu resmi berdiri, diplomat Tiongkok memprotes penyerbuan tersebut.
Dalam perjanjian, Jepang menegaskan bahwa Manchukuo bebas dan merdeka sesuai dengan keinginan bebas penduduknya. Namun tampaknya Manchukuo dibentuk demi memenuhi kepentingan Jepang.
Protes Tiongkok kepada Liga Bangsa-Bangsa menyebabkan pembentukan komisi untuk menyelidiki penyebab penyerbuan tahun 1931. Komisi tersebut juga mengevaluasi legitimasi negara baru tersebut.
Drama Manchukuo
Puyi tinggal di konsesi internasional di Tianjin ketika Jepang merekrutnya untuk memainkan perannya dalam drama Manchukuo. Pada bulan Maret 1932, ia dilantik sebagai kepala eksekutif negara baru tersebut. Pada saat yang sama, drama internasional tentang legitimasi Manchukuo berlangsung.
Baca Juga: Manchu, Suku Minoritas yang Sukses Singkirkan Dinasti Ming di Kekaisaran Tiongkok
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR