Selama musim panas dan gugur tahun 1241, sebagian besar pasukan Mongol beristirahat di dataran Hungaria. Meskipun tahun-tahun sebelumnya hangat dan kering, musim semi dan panas tahun 1241 luar biasa lembap. Curah hujan lebih tinggi dari biasanya mengubah padang rumput Magyar yang sebelumnya kering di Eropa timur. Padang rumput berubah menjadi rawa-rawa dan ladang ranjau nyamuk malaria.
Bagi tentara Mongol, dampak negatif dari perubahan iklim ini menciptakan badai yang sempurna untuk melindungi Eropa. Sebagai permulaan, rawa dan permukaan air yang tinggi merampas padang rumput. Padahal padang rumput penting bagi bangsa Mongol untuk kuda-kuda mereka yang tak terhitung jumlahnya. Dan kuda merupakan inti dari kecakapan militer Mongol. Kelembaban yang luar biasa tinggi juga menyebabkan busur Mongol goyah.
Lem yang membandel menolak untuk menggumpal dan mengering di udara lembab. Berkurangnya kekencangan tali busur yang mengembang karena panas meniadakan keuntungan bangsa Mongol berupa peningkatan kecepatan, akurasi, dan jarak. Yang memperparah kelemahan militer ini adalah populasi nyamuk yang haus darah. Parasit malaria memulai invasi liciknya ke pembuluh darah pasukan Mongol.
“Gerombolan Mongol,” tulis sejarawan terkenal John Keegan, “sekalipun ganas, pada akhirnya gagal beradaptasi dari daerah gurun ke zona curah hujan tinggi di Eropa Barat. Mereka harus mengakui kekalahan.”
Bangsa Mongol memang menyatukan timur dan barat, namun nyamuk membantu mencegah bangsa Mongol untuk menguasai dunia barat sepenuhnya. Nyamuk memanfaatkan kekuatannya yang mematikan dan memegang kendali penaklukan Mongol, menjauhkan mereka dari Eropa.
Dikalahkan oleh nyamuk di Eropa dan Levant, Kubilai Khan tidak menyerah. Ia berusaha menaklukkan sisa-sisa terakhir Asia kontinental yang merdeka di sebelah timur Pegunungan Himalaya. Kubilai Khan mengerahkan seluruh kekuatannya di Tiongkok Selatan dan Asia Tenggara. Termasuk peradaban Khmer yang kuat atau Kekaisaran Angkor.
Sejak berdiri sekitar tahun 800, budaya Angkor dengan cepat menyebar ke seluruh Kamboja, Laos, dan Thailand. Kekaisaran Angkor mencapai puncaknya pada awal abad ketiga belas.
Perluasan pertanian, pengelolaan air yang buruk, dan perubahan iklim memberi nyamuk kesempatan yang jelas untuk memulai keruntuhan total. Sungai Mekong yang bermuara tujuh adalah sumber kemakmuran Khmer sekaligus bagi malaria.
Sistem kanal dan waduk yang rumit yang digunakan untuk perdagangan, budi daya padi dan ikan. Penebangan hutan besar-besaran dan penggundulan hutan untuk meningkatkan produksi padi guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Musim hujan yang sering disertai banjir menciptakan surga yang sempurna bagi penyebaran demam berdarah dan malaria yang ditularkan nyamuk.
Serangan militer Kubilai Khan ke selatan yang dimulai pada tahun 1285. Ia mengabaikan taktik adat untuk menarik pasukannya ke wilayah utara yang bebas malaria selama bulan-bulan musim panas.
Akibatnya, barisan pasukannya yang berjumlah sekitar 90.000 orang berhadapan dengan pasukan pertahanan nyamuk yang tangguh. Malaria menghancurkan pasukannya di seluruh Tiongkok Selatan dan Vietnam. Malaria pun menimbulkan banyak korban dan memaksa Mongol untuk sepenuhnya menghentikan rencananya di wilayah tersebut pada tahun 1288.
Pasukan yang hanya terdiri dari 20.000 orang yang selamat terhuyung-huyung ke utara menuju Mongolia. Kemunduran pasukan Mongol dari Asia Tenggara dan runtuhnya Peradaban Khmer yang kuat dipicu oleh nyamuk.
Pada tahun 1400, Peradaban Khmer musnah, hanya menyisakan reruntuhan yang mengagumkan dan megah, termasuk Angkor Wat dan Bayon.
Setelah petualangannya yang buruk di Tiongkok Selatan dan Asia Tenggara, wilayah kekuasaan Mongol yang luas terkikis. Kekaisaran Mongol pun terpecah-pecah dan runtuh selama abad berikutnya. Kekaisaran ini menjadi tidak relevan secara politik dan militer pada tahun 1400. Pada saat itu, pertikaian politik, kerugian militer, dan malaria telah menguras Kekaisaran Mongol yang dulunya tak terkalahkan.
Siapa sangka jika nyamuk yang kecil bisa mengalahkan bangsa Mongol yang perkasa itu.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR