Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Mongol merupakan salah satu kekaisaran terbesar dan terkuat dalam sejarah dunia. Wilayahnya membentang dari Asia hingga ke Eropa. Meski kuat, Mongol ternyata dikalahkan oleh nyamuk. Konon invasi bangsa Mongol ke Eropa digagalkan oleh nyamuk. Bagaimana bisa?
Ekspansi Mongol di bawah Genghis Khan sebagian merupakan dampak dari zaman es mini. Perubahan iklim yang sangat dingin ini secara drastis mengurangi padang rumput yang menopang kuda-kuda dan cara hidup nomaden mereka. Bagi bangsa Mongol, pilihannya adalah memperluas wilayahnya atau punah.
Kecepatan luar biasa dari kemajuan bangsa Mongol disebabkan oleh kemampuan militer Genghis Khan dan para jenderalnya. Termasuk struktur komando dan kendali militer yang sangat kohesif. Tentara Mongol memiliki teknik mengapit dengan lebar dan busur panah khusus yang membantu mereka mengalahkan lawannya. Keterampilan dan ketangkasan bangsa Mongol yang tak tertandingi sebagai penunggang kuda pun menjadi salah satu kunci penting dalam penaklukan.
Tahun 1220, Kekaisaran Mongol membentang dari pantai Pasifik Korea dan Tiongkok, ke selatan hingga Sungai Yangtze dan Pegunungan Himalaya. “Wilayahnya mencapai Sungai Efrat di barat,” tulis Timothy C. Winegard di laman Ancient Origins.
Bangsa Mongol adalah ahli sejati dari apa yang kemudian disebut Nazi sebagai blitzkrieg atau “perang kilat”. Mereka mengepung musuh-musuh mereka yang malang dengan kecepatan dan keganasan yang menakjubkan dan tak tertandingi.
Genghis Khan menyatukan dua bagian dunia
Pada tahun 1220, Genghis membagi pasukannya menjadi dua bagian. Ia melakukan apa yang tidak dapat dilakukan Aleksander Agung, yaitu menyatukan dua bagian dunia yang dikenal. Untuk pertama kalinya, wilayah timur secara resmi bertemu dengan wilayah barat, meskipun dalam keadaan yang kejam dan bermusuhan. Genghis memimpin pasukan utama kembali ke timur melalui Afghanistan dan India utara menuju Mongolia.
Pasukan kedua yang terdiri dari sekitar 30.000 prajurit berkuda bergerak ke utara melalui Kaukasus dan ke Rusia. Pasukan tersebut menjarah pelabuhan dagang Italia Kaffa (Feodosia) di Semenanjung Krimea di Ukraina.
Di seluruh wilayah Rusia Eropa dan negara-negara Baltik, bangsa Mongol mengalahkan bangsa Rus, bangsa Kiev, dan bangsa Bulgar. Penduduk setempat diserang, dibunuh, atau dijual sebagai budak. Hanya sedikit tempat yang diberikan kepada tentara lawan.
Ketika debu mereda dan hentakan kaki bangsa Mongol terdengar di kejauhan, lebih dari 80 persen penduduk setempat terbunuh atau diperbudak. Bangsa Mongol menyelidiki Polandia dan Hungaria untuk mengumpulkan informasi. Namun mereka kemudian segera mundur ke timur pada musim panas 1223 untuk bergabung dengan pasukan Genghis yang menuju Mongolia.
Mengapa bangsa Mongol memutuskan untuk meninggalkan Eropa masih menjadi perdebatan. Secara luas diyakini bahwa serangan terakhir tersebut dimaksudkan tidak lebih dari sekadar misi pengintaian. Pengintaian itu dilakukan untuk invasi besar-besaran ke Eropa di masa mendatang.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Invasi Kekaisaran Mongol ke Eropa, Mengapa Terhenti?
Apakah malaria menyerang pasukan Genghis Khan?
Para sejarawan juga berpendapat bahwa keputusan untuk menunda invasi didasarkan pada melemahnya pasukan Mongol. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh malaria yang menjangkiti Kaukasus dan di sepanjang sistem sungai Laut Hitam. Kondisi pasukan juga diperparah oleh peperangan terus-menerus selama hampir 20 tahun.
Diketahui bahwa Genghis sendiri menderita malaria secara berkala saat itu. Teori yang paling diterima secara umum soal kematian Genghis Khan adalah akibat dari luka bernanah yang membandel. Luka bernanah itu disebabkan oleh melemahnya sistem kekebalan tubuhnya akibat malaria kronis.
Genghis Khan meninggal pada bulan Agustus 1227 di usia 65 tahun. Sesuai dengan norma budaya, ia dimakamkan tanpa upacara atau peringatan. Legenda mengatakan bahwa rombongan pemakaman kecil itu membunuh siapa pun yang mereka temui dalam perjalanan. Tujuannya adalah untuk menyembunyikan tempat peristirahatan terakhirnya. Mereka juga mengalihkan sungai di atas makam.
Seperti Aleksander Agung, jasad Khan Agung hilang dari legenda dan cerita rakyat. Semua upaya dan ekspedisi untuk menemukan makamnya berakhir dengan kekecewaan. Namun, rasa haus nyamuk akan darah Mongol belum terpuaskan. Nyamuk pun terus membebani Kekaisaran Mongol yang megah.
Gerombolan Mongol berusaha untuk menghancurkan Eropa
Di bawah pimpinan putra dan penerus Genghis, Ogedei, bangsa Mongol melancarkan serangan yang tak terkendali ke Eropa. Serangan tersebut berlangsung antara tahun 1236 dan 1242.
Gerombolan Mongol dengan cepat menghancurkan jalan mereka melalui Rusia timur, negara-negara Baltik, Ukraina, Rumania, wilayah Ceko dan Slowakia. Mereka juga menyerang Polandia, Hungaria, dan mencapai Budapest serta Sungai Danube pada Natal tahun 1241. Dari Budapest mereka melanjutkan perjalanan ke barat melintasi Austria, sebelum menuju ke selatan, dan akhirnya kembali ke timur. Pasukan Mongol mengacak-acak di sepanjang jalan melintasi Balkan dan Bulgaria.
Pasukan dikalahkan oleh nyamuk
Melanjutkan perjalanan ke timur, pada tahun 1242, bangsa Mongol meninggalkan Eropa dan tidak pernah kembali. Bangsa Mongol yang tak terkalahkan, ternyata, tidak dapat mengalahkan nyamuk dan menghancurkan pertahanannya yang gigih di Eropa.
Mengenai kemunduran yang tampaknya impulsif dan mengejutkan ini, Winston Churchill menulis, “Pada suatu saat, tampaknya seluruh Eropa akan menyerah pada ancaman mengerikan yang muncul dari timur. Gerombolan bangsa Mongol dari jantung Asia, para penunggang kuda tangguh yang bersenjatakan busur, dengan cepat menyapu Rusia, Polandia, Hungaria. Dan pada tahun 1241, mereka menimbulkan kekalahan telak secara bersamaan atas Jerman di dekat Breslau dan atas kavaleri Eropa di dekat Buda. Jerman dan Austria setidaknya berada di bawah belas kasihan mereka. Secara kebetulan, para pemimpin Mongol bergegas kembali ribuan kilometer ke Karakorum, ibu kota mereka. Dan Eropa Barat selamat.”
Nyamuk menyelamatkan Eropa dari penaklukan Mongol
Selama musim panas dan gugur tahun 1241, sebagian besar pasukan Mongol beristirahat di dataran Hungaria. Meskipun tahun-tahun sebelumnya hangat dan kering, musim semi dan panas tahun 1241 luar biasa lembap. Curah hujan lebih tinggi dari biasanya mengubah padang rumput Magyar yang sebelumnya kering di Eropa timur. Padang rumput berubah menjadi rawa-rawa dan ladang ranjau nyamuk malaria.
Bagi tentara Mongol, dampak negatif dari perubahan iklim ini menciptakan badai yang sempurna untuk melindungi Eropa. Sebagai permulaan, rawa dan permukaan air yang tinggi merampas padang rumput. Padahal padang rumput penting bagi bangsa Mongol untuk kuda-kuda mereka yang tak terhitung jumlahnya. Dan kuda merupakan inti dari kecakapan militer Mongol. Kelembaban yang luar biasa tinggi juga menyebabkan busur Mongol goyah.
Lem yang membandel menolak untuk menggumpal dan mengering di udara lembab. Berkurangnya kekencangan tali busur yang mengembang karena panas meniadakan keuntungan bangsa Mongol berupa peningkatan kecepatan, akurasi, dan jarak. Yang memperparah kelemahan militer ini adalah populasi nyamuk yang haus darah. Parasit malaria memulai invasi liciknya ke pembuluh darah pasukan Mongol.
“Gerombolan Mongol,” tulis sejarawan terkenal John Keegan, “sekalipun ganas, pada akhirnya gagal beradaptasi dari daerah gurun ke zona curah hujan tinggi di Eropa Barat. Mereka harus mengakui kekalahan.”
Bangsa Mongol memang menyatukan timur dan barat, namun nyamuk membantu mencegah bangsa Mongol untuk menguasai dunia barat sepenuhnya. Nyamuk memanfaatkan kekuatannya yang mematikan dan memegang kendali penaklukan Mongol, menjauhkan mereka dari Eropa.
Dikalahkan oleh nyamuk di Eropa dan Levant, Kubilai Khan tidak menyerah. Ia berusaha menaklukkan sisa-sisa terakhir Asia kontinental yang merdeka di sebelah timur Pegunungan Himalaya. Kubilai Khan mengerahkan seluruh kekuatannya di Tiongkok Selatan dan Asia Tenggara. Termasuk peradaban Khmer yang kuat atau Kekaisaran Angkor.
Sejak berdiri sekitar tahun 800, budaya Angkor dengan cepat menyebar ke seluruh Kamboja, Laos, dan Thailand. Kekaisaran Angkor mencapai puncaknya pada awal abad ketiga belas.
Perluasan pertanian, pengelolaan air yang buruk, dan perubahan iklim memberi nyamuk kesempatan yang jelas untuk memulai keruntuhan total. Sungai Mekong yang bermuara tujuh adalah sumber kemakmuran Khmer sekaligus bagi malaria.
Sistem kanal dan waduk yang rumit yang digunakan untuk perdagangan, budi daya padi dan ikan. Penebangan hutan besar-besaran dan penggundulan hutan untuk meningkatkan produksi padi guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Musim hujan yang sering disertai banjir menciptakan surga yang sempurna bagi penyebaran demam berdarah dan malaria yang ditularkan nyamuk.
Serangan militer Kubilai Khan ke selatan yang dimulai pada tahun 1285. Ia mengabaikan taktik adat untuk menarik pasukannya ke wilayah utara yang bebas malaria selama bulan-bulan musim panas.
Akibatnya, barisan pasukannya yang berjumlah sekitar 90.000 orang berhadapan dengan pasukan pertahanan nyamuk yang tangguh. Malaria menghancurkan pasukannya di seluruh Tiongkok Selatan dan Vietnam. Malaria pun menimbulkan banyak korban dan memaksa Mongol untuk sepenuhnya menghentikan rencananya di wilayah tersebut pada tahun 1288.
Pasukan yang hanya terdiri dari 20.000 orang yang selamat terhuyung-huyung ke utara menuju Mongolia. Kemunduran pasukan Mongol dari Asia Tenggara dan runtuhnya Peradaban Khmer yang kuat dipicu oleh nyamuk.
Pada tahun 1400, Peradaban Khmer musnah, hanya menyisakan reruntuhan yang mengagumkan dan megah, termasuk Angkor Wat dan Bayon.
Setelah petualangannya yang buruk di Tiongkok Selatan dan Asia Tenggara, wilayah kekuasaan Mongol yang luas terkikis. Kekaisaran Mongol pun terpecah-pecah dan runtuh selama abad berikutnya. Kekaisaran ini menjadi tidak relevan secara politik dan militer pada tahun 1400. Pada saat itu, pertikaian politik, kerugian militer, dan malaria telah menguras Kekaisaran Mongol yang dulunya tak terkalahkan.
Siapa sangka jika nyamuk yang kecil bisa mengalahkan bangsa Mongol yang perkasa itu.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR