Nationalgeographic.co.id—Tradisi merantau pada masyarakat Minangkabau pada dasarnya berangkat dari falsafah hidup yang dipegang semenjak lama, yakni “alam takambang jadi guru.”
Makna dari falsafah ini adalah bahwa orang Minangkabau diajak untuk belajar dari peristiwa dan pengalaman yang mereka temui di dalam kehidupan sehari-hari. Alam di dalam pengertian ini bisa salah satunya dimaknai sebagai pengalaman hidup.
Dan salah satu bentuk usaha memperkaya pengalaman hidup ini adalah dengan cara merantau ke negeri orang. Sebagaimana dikatakan Idrus Hakimy dalam bukunya Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau bahwa orang Minangkabau berpikir dan menarik pembelajaran dari ketentuan alam.
"Masyarakat Minangkabau semenjak zaman dahulu dikenal sebagai masyarakat perantau. Tradisi ini menjadi menjadi semacam kewajiban bagi mereka yang mulai beranjak usia dewasa," tulis Hakimy.
Ada sebuah nilai yang terbangun dalam kultur budaya Minangkabau bahwa merantau adalah bagian dari tanda kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam ungkapan berikut:
Sayang jo anak dilacuik
Sayang jo kampuang ditinggakan
Ujan ameh di nagari urang
Ujan batu di nagari awak
Kampuang nan jauah dibantu juo
sayang dengan anak dipukuli
sayang dengan kampung ditinggalkan
hujan emas di negeri orang
hujan batu di negeri kita
kampung yang jauh dibantu juga
Ungkapan di atas menggambarkan ibarat jika seseorang menyayangi anaknya, maka ketika anak berbuat salah, mereka harus diingatkan agar kelak dia lebih baik. Maka, jika sayang dengan kampung ditinggalkan supaya suatu hari bisa memberikan yang terbaik setelah kembali dari rantau.
Pemikiran yang dibangun oleh masyarakat Minangkabau adalah bahwa merantau merupakan bagian dari usaha untuk membangun kembali kampung halaman.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka orang Minangkabau di rantau memiliki motivasi yang lebih untuk memperbaiki kehidupan mereka, sehingga tidak mengherankan bahwa ikatan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau amat kuat sekali.
Masyarakat Minangkabau, kelompok etnik di Indonesia bagian dari rumpun Austronesia yang berasal dari Dataran Tinggi Minangkabau, Sumatera Barat, sesungguhnya adalah tipikal masyarakat penjelajah yang mesti mencari pengalaman hidup dengan merantau. Bahkan orang Minangkabau tempo dulu pantang baginya tinggal di kampung.
Baca Juga: Tradisi Telinga Panjang Suku Dayak: Akankah Segera Punah?
Biarlah pergi dengan berbekal sehelai baju tanpa modal uang (jo tulang salapan karek). Aib bagi mereka pulang dengan tangan kosong, ia takkan pulang sebelum berhasil.
Sistem Kekerabatan Matrilineal
Tradisi merantau di Minangkabau juga berkaitan dengan sistem matrilineal, yakni sistem kekerabatan yang didasarkan pada garis keturunan ibu.
Sistem ini berakar kuat pada kepercayaan dan cara hidup lokal. Tradisi ini muncul dari pandangan dunia agraris mereka, di mana perempuan dianggap sebagai penjaga tanah dan harta pusaka keluarga.
Dalam masyarakat Minangkabau, perempuan bukan hanya memiliki peran sentral dalam warisan harta, tetapi juga dalam menjaga dan meneruskan nilai-nilai serta identitas keluarga melalui garis keturunan ibu.
Dengan begitu, harta pusaka seperti tanah dan rumah diwariskan dari ibu ke anak perempuan, sementara anak laki-laki dianggap sebagai “perantau” yang kelak meninggalkan rumah untuk mencari nafkah atau membangun keluarga di luar.
Gouzali Saydam dalam Sistem Kekerabatan Matrilinieal mengungkap bahwa dalam sistem matrilineal, perempuan memiliki kedudukan yang istimewa.
"Salah satu keistimewaan perempuan berupa penguasaan harta pusaka. Sementara laki-laki Minangkabau dianjurkan untuk merantau, karena ia tidak mewarisi harta pusaka," tulisnya.
"Laki-laki Minangkabau dapat mengusahakan harta pusaka, namun dia tidak dapat mewarisi harta tersebut pada anaknya, karena anaknya adalah suku lain (sesuai sistem matrilineal)."
"Pada akhirnya, anaknya akan bersuku sama dengan ibunya. Bagi laki-laki Minangkabau, sistem matrilineal menjadi pendorong untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik," paparnya.
Baca Juga: Misteri Buah di Balik Kisah Suku Pemakan Lotus dalam Mitologi Yunani
Sistem kekerabatan orang Minangkabau merupakan sebuah hubungan yang teratur antara individu di Minangkabau sehingga membentuk satu kesatuan atau kelompok.
Matrilineal berasal dari kata ‘matri’ yang berarti ‘mother/ ibu’ dan ‘lineal’ berarti ‘line/garis.’ Istilah matrilineal merupakan ungkapan sosiologis, yang menyatakan bahwa garis keturunan seseorang ditarik dari garis keturunan ditarik menurut garis keturunan ibu.
Ibulah yang menjadi patokan dalam menentukan asal usul seseorang. Adapun yang menjadi ketentuan dalam pola kekerabatan matrilineal: suami yang pulang atau datang dan tinggal di rumah keluarga istrinya, suami boleh pergi atau ke luar dari rumah jika terjadi perceraian dalam keluarga dan istri akan tetap tinggal bersama keluarga atau kerabatnya, anak akan tetap tinggal dan dibesarkan bersama ibu dan kerabat ibunya.
Dengan demikian, jika terjadi perceraian dalam suatu rumah tangga, posisi ibu atau perempuan dan anak-anak dari perkawinan itu akan tetap aman dan terpelihara karena ia berada dalam lingkungan keluarga.
Tidak ada istilah seorang anak akan hidup bersama ibu tirinya. Artinya, laki-laki di Minangkabau tidak memiliki hak kepemilikan harta pusaka, baik dalam keluarga istri maupun dalam kaumnya.
Seorang laki-laki di Minangkabau, mereka tidak dimanjakan dengan harta orang tua maupun dengan harta pusaka. Karena harta itu diwariskan kepada kaum perempuan, laki-laki hanya sebagai pengelola.
Lain halnya dengan suku-suku lain yang menganut sistem patrilineal. Namun hal ini bukan berarti meniadakan hak laki-laki di Minangkabau.
Dengan sistem kekerabatan matrilineal, mengharuskan laki-laki Minangkabau untuk pergi merantau, namun mereka tidak boleh meninggalkan kampung selama-lamanya, karena sebagai pengelola, mereka harus kembali ke kampung setelah memiliki pengalaman, seperti ungkapan “satinggi-tinggi tabang bangau, nan pulang kakubangan juo”.
Merantau dalam Kesenian Minangkabau
Zulfikarni dan Siti Ainim Liusti dalam Merawat Ingatan: Filosofi Marantau di Dalam Pantun Minangkabau yang dimuat jurnal Sasdaya mengungkap pergeseran motif merantau bagi orang Minangkabau.
Seiring perkembangan zaman, motif orang Minangkabau merantau juga meluas dikarenakan untuk mencari penghidupan yang lebih baik secara ekonomi, melanjutan pendidikan atau sekolah ke luar dari kampung, menaikkan derajat atau status sosial keluarga, dan mencari pengalalam hidup agar apa yang didapatkan dapat dimanfaatkan untuk membangun kampung halaman.
Baca Juga: 'Di Lao Denangdaku' Mantra Suku Bajo untuk Menjaga Laut dari Kerusakan
Selain itu, terjadi pergeseran pola perantau orang Minang. Sebelum kemerdekaan, yang pergi merantau hanya diperuntukkan bagi laki-laki.
Hal ini mengingat dan menimbang keamanan bagi perantau perempuan kurang baik, sebab di rantau akan menemukan medan yang berbahaya dan kondisi keamanan yang tidak baik.
Setelah kemerdekaan, kondisi daerah rantau sudah membaik, maka para perantau sudah mulai berangsur-angsur membawa keluarga atau saudara perempuan ke perantauan dengan berbagai alasan.
Sebagai orang Minang yang kaya dengan filosofi hidup merantau dan sudah terbiasa hidup dengan segala adata istiadat yang berbeda maka mereka seharusnya dapat hidup berdampingan dengan siapapun.
Sebagai salah satu suku bangsa maka orang Minang diharapkan turut serta dalam pelestarian tatanan kehidupan yang harmonis antar suku bangsa dimanapun ia berada. Dalam hal ini yang paling penting sekali dijaga adalah lisan, karena lisan inilah pangkal persoalan sehingga muncul konflik yang tersirat dalam pantun
kok pandai bakato-kato,
bak santan jotangguli.
kok ndak pandai bakato-kato,
bak cando alu pacukia duri.
Kalau pandai berkata-kata
Seumpama santan dengan tengguli
Kalau tak pandai berkata-kata
Seumpama alu pencongkel duri
Yang sering menjadi penyebab renggangnya pergaulan sesama adalah tidak terpeliharanya kata-kata. Kata-kata yang sembarang keluar sehingga di dengar oleh yang tidak patut mendengar menjadi pangkalrusaknya pergaulan dan bahkan tidak jarang mendatangkan fitnah dan pertikaian.
Dimanapun perantau Minangkabau berada ia harus bisa menyesuaikan diri, seperti pepatah “dima bumi dipijak, di sinan langik di jujuang, bajalan di tapi-tapi, mandi di baruah-baruah” (dimana bumi dipijak, disana langit di junjung, berjalan di pingir-pinggir, mandi di bagian bawah aliran sungai).
Artinya, mereka harus mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di tempat yang mereka tuju, menghindari semua bentuk perselisihan yang menimbulkan perselisihan dengan penduduk setempat.
Filosofi merantau telah diselipkan dalam falsafah adat, pantun-pantun dan lagu Minangkabau, sehingga proses pewarisannya sangat lembut memasuki alam bawah sadar orang-orang Minangkabau, sehingga menjadi media efektif dalam merawat ingatan dan semangat merantau masyarakat Minangkabau.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR