Selain itu, terjadi pergeseran pola perantau orang Minang. Sebelum kemerdekaan, yang pergi merantau hanya diperuntukkan bagi laki-laki.
Hal ini mengingat dan menimbang keamanan bagi perantau perempuan kurang baik, sebab di rantau akan menemukan medan yang berbahaya dan kondisi keamanan yang tidak baik.
Setelah kemerdekaan, kondisi daerah rantau sudah membaik, maka para perantau sudah mulai berangsur-angsur membawa keluarga atau saudara perempuan ke perantauan dengan berbagai alasan.
Sebagai orang Minang yang kaya dengan filosofi hidup merantau dan sudah terbiasa hidup dengan segala adata istiadat yang berbeda maka mereka seharusnya dapat hidup berdampingan dengan siapapun.
Sebagai salah satu suku bangsa maka orang Minang diharapkan turut serta dalam pelestarian tatanan kehidupan yang harmonis antar suku bangsa dimanapun ia berada. Dalam hal ini yang paling penting sekali dijaga adalah lisan, karena lisan inilah pangkal persoalan sehingga muncul konflik yang tersirat dalam pantun
kok pandai bakato-kato,
bak santan jotangguli.
kok ndak pandai bakato-kato,
bak cando alu pacukia duri.
Kalau pandai berkata-kata
Seumpama santan dengan tengguli
Kalau tak pandai berkata-kata
Seumpama alu pencongkel duri
Yang sering menjadi penyebab renggangnya pergaulan sesama adalah tidak terpeliharanya kata-kata. Kata-kata yang sembarang keluar sehingga di dengar oleh yang tidak patut mendengar menjadi pangkalrusaknya pergaulan dan bahkan tidak jarang mendatangkan fitnah dan pertikaian.
Dimanapun perantau Minangkabau berada ia harus bisa menyesuaikan diri, seperti pepatah “dima bumi dipijak, di sinan langik di jujuang, bajalan di tapi-tapi, mandi di baruah-baruah” (dimana bumi dipijak, disana langit di junjung, berjalan di pingir-pinggir, mandi di bagian bawah aliran sungai).
Artinya, mereka harus mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di tempat yang mereka tuju, menghindari semua bentuk perselisihan yang menimbulkan perselisihan dengan penduduk setempat.
Filosofi merantau telah diselipkan dalam falsafah adat, pantun-pantun dan lagu Minangkabau, sehingga proses pewarisannya sangat lembut memasuki alam bawah sadar orang-orang Minangkabau, sehingga menjadi media efektif dalam merawat ingatan dan semangat merantau masyarakat Minangkabau.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR