Nationalgeographic.co.id—Orangutan benar-benar hampir serupa dengan kita! Berabad-abad lamanya, para ahli zoologi mengamati bahwa perilaku dan kepandaian mereka menyerupai manusia. Ketika ilmu genetika berkembang, susunan DNA orangutan dan manusia memiliki kesamaan 97 persen.
Jauh sebelum sains menyadari kera terbesar Asia ini memiliki kekerabatan dengan manusia, masyarakat adat yang tinggal bersamanya telah memiliki wawasan tentang orangutan.
Secara etimologi, orangutan sendiri berarti "orang" dari atau yang tinggal di "utan" (hutan) dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Asal-usul penamaan ini diperdebatkan antara berasal dari bahasa Melayu atau nama adopsi dari bahasa Belanda.
Wayan Jarrah Sastrawan dari The University of Sydney membantah dugaan nama dari asing. Dalam makalah "The Word ‘Orangutan’: Old Malay Origin or European Concoction?" di Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia mengungkapkan istilah ini sudah ada sejak milenium pertama dalam sejarah Nusantara.
Meski orangutan tidak ada di Jawa, imajinasi tentang makhluk ini diperkenalkan dari Melayu kuno, terang Wayan. Beberapa catatan awal kolonial oleh orang Belanda dan Inggris pun menjelaskannya sebagai "orangutan" berdasarkan penjelasan dari penduduk pribumi pada abad ke-16 dan ke-18.
Selain orangutan, spesies ini juga disebut sebagai mawas dalam bahasa Melayu yang kini telah diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Melansir Forum Konservasi Orangutan Indonesia (FORINA), orangutan punya banyak sebutan di Kalimantan, yakni hirang, helong lietiea, kahui, kisau, kogju, kuyang, kahiyu, oyang dok, ulang, uyang paya, dan maias.
Entah apa pun sebutannya, orangutan telah bersama manusia modern sejak ribuan tahun lalu. Bangsa Austronesia diperkirakan telah menempati Kalimantan dan Sumatra sekitar lebih dari 3.000 tahun yang lalu.
Kala itu, orangutan telah berevolusi dari spesies purbanya, terbagi di kedua pulau, dan mulai berbagi habitat tropis bersama manusia. Kedua spesies berbagi kisah dalam mitologi Kalimantan yang harmonis.
Mitologi Dayak Kalimantan tentang orangutan
Penduduk adat Kalimantan, atau yang biasanya disebut sebagai Dayak, memandang orangutan berbeda dengan cara pandang modern. Peradaban modern menjadikan spesies non-manusia sebagai kelas dua karena bentuknya yang berbeda dan tidak memiliki kecerdasan sehebat manusia.
Namun, bagi masyarakat tradisional di Kalimantan meyakini bahwa orangutan adalah makhluk cerdas. Pelbagai kelompok adat di Kalimantan memberi peraturan untuk tidak berhadapan langsung dengan orangutan, bahkan menertawakannya.
Baca Juga: Simpanse Tahu Jenis Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka dan Sakit
Banyak dari mitologi dari Kalimantan mengisahkan orangutan sebagai sosok yang dekat dengan manusia yang kuat dan dihormati. Berikut adalah sebagian dari cerita rakyat tentang orangutan dari masyarakat adat Dayak Iban dan Ransa
Cerita dari masyarakat Dayak Iban
Masyarakat adat Dayak Iban menyebut orangutan sebagai maias sebagai salah satu tokoh cerita terkemuka. Kisahnya pun menjadi inspirasi dalam fiksi The Quest for the Petara: The Return of Panggau Warriors karya Oktavia Rosari Nurtjahja.
Vinson H. Sutlive dan Joanne Sutlive dalam The Encyclopaedia of Iban Studies mengumpulkan mitologi Kalimantan dari masyarakat Dayak Iban terkait orangutan yang disebut sebagai maias.
Pertama, orangutan mengajarkan manusia tentang proses bersalin. Masyarakat adat Dayak Iban menggunakan jahe dalam proses bersalin.
Hal ini terkait dengan mitologi yang mengisahkan seorang pria bernama Kelili Badak Resa yang berupaya membantu persalinan istrinya. Dia melihat bahwa orangutan pejantan menggunakan jahe untuk orangutan betina yang hendak melahirkan. Setelah bersalin, orangutan betina dengan cepat pulih. Metode ini pun segera dipraktikkan Kelili Badak Resa.
Saat itu Kelili Badak Resa melihat bagaimana pejantan orangutan menggunakan jahe untuk membantu betina melahirkan dan dapat pulih dengan cepat. Kelili Badak Resa pun mengukit caranya untuk membantu istrinya bersalin.
Mitologi Kalimantan berikutnya adalah tentang Rakup Beliang yang diculik orangutan betina. Perkawinan antara keduanya melahirkan anak perempuan.
Kemudian, Rakup Beliang melarikan diri bersama putrinya sampai harus bersembunyi dengan bersembunyi di bawah air sungai karena dikejar para orangutan.
Dalam pengejarannya itu, para orangutan betina menumbuk akar tuba (Derris elliptica) lalu menebarkannya ke perairan. Ekstrak itu menyebabkan ikan-ikan mengapung ke permukaan. Beruntung Rakup Beliang dan putrinya selamat karena kepalanya masih berada di atas air.
Setelah situasi aman, keduanya langsung berlari ke pemukiman manusia. Rakup Beliang memperkenalkan penggunaan akar tuba ke penduduk sebagai cara menangkap ikan. Secara ilmiah, tuba terbukti beracun dan dapat berfungsi sebagai insektisida alami.
Baca Juga: Orangutan Kalimantan Dibunuh Masyarakat Demi Kebun & Perdagangan Satwa
Mitologi dari masyarakat Dayak Ransa
Melansir halaman YIARI (Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia) dari wawancara bersama ketua adat bernama Udat, masyarakat Dayak Ransa meyakini bahwa orangutan berasal dari manusia. Konon, dahulu kala seseorang tersesat ke dalam hutan sehingga banyak masyarakat dari perkampungan mencarinya.
Di dalam hutan, orang tersebut lambat laun ditumbuhi bulu di seluruh tubuhnya sampai menutupi kulit. Ketika berjumpa dengan rombongan warga yang mencarinya, dia berpesan agar jangan mencarinya lagi karena takdir membawanya hidup di hutan dan jangan mengganggu hidupnya.
Karena menghormati dan hidup berdampingan dengan orangutan, masyarakat Dayak Ransa membuat peraturan tegas. Orangutan tidak boleh dibunuh dan dikonsumsi. Bagi yang melanggarnya, adat memberikan sanksi berupa 30 Ulun atau setara dengan Rp12 juta.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR