Masyarakat Adat Dayak Punan Tugung
Selain masyarakat adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang, juga ada masyarakat adat Dayak Punan Tugung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Meskipun wilayah adat mereka sepenuhnya berada dalam izin konsesi perusahaan dan masuk dalam kawasan hutan, masyarakat adat Dayak Punan Tugung tetap menjaga keanekaragaman hayati yang berada di wilayah adat mereka.
Rahmat Sulaiman dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyampaikan, “Kondisi wilayah adat Dayak Punan Tugung cukup memprihatinkan, karena keseluruhan dari wilayah adat berada dalam konsesi. Baik dalam fungsi produksi maupun lindung, keseluruhan masuk dalam konsesi."
"Namun, perbedaan pengelolaan hutan oleh korporasi dan masyarakat adat terlihat sangat mencolok dan menunjukkan bagaimana masyarakat adat Dayak Punan Tugung mampu melindungi keperawanan hutan adat mereka.”
Nurhayati, perempuan adat Punan Tugung bercerita tentang pengetahuan tradisional berbasis kearifan lokal di wilayah adat mereka di ajang COP 16 CBD. Ia mengungkapkan bahwa obat-obatan tradisional atau Ethnobotani telah dimanfaatkan secara turun temurun.
Dalam pemaparannya, Nurhayati menunjukkan berbagai tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai obat-obatan, mulai dari panas dalam, penawar racun, dan lain sebagainya kepada para peserta dalam Paviliun ASEAN. “Hutan adalah supermarket dan apotek gratis bagi kami. Dari hutan, kami bisa mendapatkan segala kebutuhan yang kami perlukan. Kami tid
Di sisi lain, sebagai aktor utama penjaga keanekaragaman hayati, pengakuan terhadap masyarakat adat masih minim. Data PADI Indonesia dan JKPP menunjukkan bahwa pengakuan masyarakat adat di Kalimantan Utara baru ada di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan.
“Untuk jumlah komunitas adat yang telah mendapatkan pengakuan hingga saat ini baru ada 19 Komunitas yang tersebar di 3 kabupaten tersebut,” ucap Among selaku Direktur Eksekutif PADI Indonesia yang merupakan pendamping dari komunitas adat Punan Tugung.
“Masyarakat adat bukanlah yang menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, tetapi mereka adalah garda terdepan pelindung biodiversitas dan sebagai pihak yang akan terdampak langsung terhadap kehilangan biodiversitasnya. Oleh karenanya, pengakuan formal bagi masyarakat adat dan dukungan dari masyarakat dunia tentang perlindungan dan kontribusi masyarakat adat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati sangat kami butuhkan,” tegas Among.
Masyarakat adat di Kalimantan pada kenyataannya bukan merupakan satu-satunya yang sedang berusaha mendapatkan pengakuan atas status dan ruang hidupnya.
Tidak hanya di Indonesia, proses negosiasi dalam COP16 CBD untuk penghoramatan dan pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah terbukti berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan secara tidak langsung juga berkontribusi dalam pencapaian target 3 KM-GBF, yang berjalan dengan cukup alot.
Padahal, penghormatan terhadap hak dan pengakuan terhadap ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan prasyarat utama bagi masyarakat adat untuk bisa melangsungkan praktik pengelolaan ekosistem berkelanjutan yang telah terbukti berhasil melindungi keanekaragaman hayati.
Yoki Hadiprakarsa dari Yayasan Rekam Nusantara menuturkan “Perjuangan masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola hutan adat secara berkelanjutan sudah sejak lama dilakukan. Karenanya, perlu terus dukungan teknis dan pendanaan oleh para pihak untuk memastikan upaya pengelolaan melalui pemantauan keanekaragaman hayati terus berjalan, sebagai bentuk nyata kontribusi masyarakat adat dalam implementasi KM-GBF di Indonesia. Terpenting, untuk terus memberikan manfaat luar biasa, untuk Indonesia dan masyarakat global."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR