Ketenangan dan kenyamanan penduduk asli ini ditujukan agar Belanda dapat terus berkuasa di wilayah Hindia. Dengan kata lain, politik etis merupakan bentuk kolonialisme yang mencerahkan.
Namun, di antara sejumlah ethiek, ada pula penentangnya. Penentang kebijakan etis yang paling kuat adalah pemimpin redaksi Soerabaiasch Handelsblad, Mozes van Geuns dan pemimpin redaksi Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, Karel Wybrants.
Kutipan luar biasa dari Soerabaiasch Handelsblad tertanggal 18 Mei 1907 ini menggambarkan tingkat pencapaian surat kabar ini dalam memerangi politik etis:
"...kami menyatakan secara terbuka dan tanpa keraguan sedikit pun bahwa kami menganggap metode tersebut tidak terlalu tidak simpatik dibandingkan dengan metode yang ada saat ini."
Mereka melanjutkan: "metode untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang Timur yang bodoh, yang terbiasa bersikap tegas, menjadi sulit diatur dan kehilangan semangat jika mereka dibiarkan melakukan apa yang mereka inginkan. (…) Seseorang ingin dapat mengalahkan orang tersebut dengan cambuk yang panjang untuk mengajari mereka ketertiban dan disiplin."
Pernyataan keras bahkan ditunjukan oleh Wybrants dalam Het Nieuws van den Dag pada tahun 1915: "Penduduk asli adalah kusir yang buruk dan kejam, pekerja yang ceroboh, petani yang keras kepala dan terbelakang, pengawas yang malas, bawahan yang acuh tak acuh, tuan yang keras."
Wybrants terus menyudutkan para penduduk asli dengan menyebut: "Mereka percaya takhayul, tidak dapat diandalkan, tidak jujur, bodoh, lalai, kekanak-kanakan, lalim, budak.''
Namun bagaimana pun, Kebijakan etis tersebut tentu saja membuahkan hasil—pendidikan bagi masyarakat diperluas dan pengentasan kemiskinan terus dilakukan. Kesempatan pendidikan ini juga dimanfaatkan oleh generasi muda Hindia.
Mereka "nantinya akan menjadi garda depan nasionalisme Indonesia," sambung Ronald Frisart. Pelajar Hindia di Belanda kemudian mendirikan perkumpulan Perhimpoenan Indonesia, yang menjadi katalis nasionalisme di Hindia Belanda.
Salah satu anggota utamanya adalah mahasiswa Rotterdam yang kemudian menjadi wakil presiden Indonesia: Mohammad Hatta.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR