Nationalgeographic.co.id—Sebuah artikel tentang 'Hutang Kehormatan' sering disebut-sebut sebagai sinyal awal sekaligus sumber inspirasi bagi tercetusnya kebijakan paling penting dalam sejarah Indonesia: politik etis.
Artikel itu pertama kali muncul pada bulan Agustus 1899 di majalah sastra dan budaya umum De Gids pada volume 63 dalam beberapa halaman (205-257). Penulisnya adalah Conrad Theodor van Deventer.
Van Deventer belajar hukum di Leiden. Ia pertama kali bekerja sebagai pegawai negeri di Hindia, dan setelah itu memperoleh penghidupan layak sebagai pengacara di Semarang, dan kembali ke Belanda pada tahun 1897.
Artikelnya, 'Hutang Kehormatan', selalu disebutkan dalam kaitannya dengan politik etis, "namun, isi sebenarnya dari artikel tersebut hampir tidak pernah disebutkan," tulis Ronald Frisart.
Ronald menulisnya kepada Historiek dalam sebuah artikel berjudul Ethische politiek in Indië móést wel stranden: Verlicht kolonialisme liep al snel tegen zijn grenzen aan, yang diterbitkan pada 30 September 2024.
Pada saat itu, situasi di Hindia Belanda berada dalam kondisi yang buruk dan Van Deventer pertama-tama ingin menunjukkan penyebab dari kondisi itu bisa terjadi, lalu kemudian mengusulkan sebuah solusi.
Pemerintah Hindia Belanda tengah sangat menderita dengan hutang-hutangnya. Terlebih, perang demi perang yang dihadapi oleh pemerintah kolonial, telah mendorong hutang tersebut semakin menggembung.
Contoh saja Perang Aceh, menurut Ronald Frisart, telah menghabiskan banyak anggaran hingga menambah hutang pemerintah hingga mencapai 55 juta gulden.
"Alat konversi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 55 juta gulden pada tahun 1900 sebanding dengan 749 juta euro pada tahun 2020," imbuhnya lagi.
Jurnalis Hindia, Pieter Brooshooft, menunjukkan bahwa pada tahun 1888 seorang Jawa membayar sekitar 27 persen pendapatannya kepada otoritas pajak. Menurutnya, pendapatan seorang pria Jawa berkisar dari seratus gulden dalam setahun.
Setelah membayar pajak, delapan puluh gulden untuk setahun tersisa. Jumlah yang tak banyak itu digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup sebuah keluarga Jawa, yang dihitung Van Deventer untuk seorang suami, seorang istri dan tiga orang anak.
Baca Juga: Mengapa Belanda Mencegah Bahasanya Menjadi Bahasa Internasional
Tentunya, jumlah itu dianggap Van Deventer jauh dari kata layak untuk sebuah keluarga Jawa di masa itu. Sebelum mengusulkan solusi terhadap masalah keuangan India, Van Deventer melihat bagaimana masalah tersebut bisa muncul.
Menurut Van Deventer, "situasi finansial dan ekonomi di Hindia akan jauh lebih menguntungkan, jika Belanda selama bertahun-tahun tidak mengikuti sistem pemerintahan yang berkaitan dengan wilayah jajahannya, seperti yang telah diikuti oleh Inggris."
"Sistem eksploitasi koloni demi kepentingan negara induk," imbuhnya, "menghancurkan negeri jajahan selamanya!"
Surat kabar yang ditulis Pieter Brooshoofst, De Locomotief, menulis peringatan: 'Ini adalah tanda-tanda (berakhirnya) zaman!'
Hal itu berarti: Jika penduduk Hindia menyadari bahwa Belanda memperlakukan mereka secara tidak adil, hal ini tidak mungkin membawa dampak baik bagi posisi Belanda di nusantara.
Alasan ini menunjukkan bahwa Van Deventer menganggap perbaikan kondisi penduduk pribumi Hindia diperlukan bukan hanya karena pertimbangan moral dan kemanusiaan, namun juga karena kepentingan Belanda.
Dalam ceramahnya di Vrije Universiteit pada tanggal 9 Mei 2012, profesor sejarah Leiden, Cees Fasseur, menandai penerapan Politik Etis bukan pada tahun 1901, melainkan tahun 1860 sebagai 'tahun lahirnya politik etis.'
Pada tahun 1860, Multatuli (Eduard Douwes Dekker) menerbitkan buku terkenal berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Nederlandsche Handel-Maatschappij. Multatuli mengajukan permohonan mendesak kepada Belanda untuk mengakhiri penyiksaan.
"Di mana penyiksaan itu melibatkan penduduk asli sebagai korbannya dan pemerintah kolonial Hindia Belanda (hampir) tidak berbuat apa-apa," terus Ronald.
Multatuli, Kuyper, Van Kol, Brooshooft, Van Deventer dan para ethiek lainnya—mereka semua mempunyai kepentingan terbaik bagi penduduk pribumi, namun tetap dalam lingkup pemerintahan Belanda.
Jika dirumuskan secara positif, para ethiek ingin memberikan kehidupan yang lebih baik kepada penduduk asli, namun jika dilihat secara lebih skeptis, kebijakan etis (juga) merupakan sarana untuk menjaga kepuasan dan ketenangan penduduk asli.
Ketenangan dan kenyamanan penduduk asli ini ditujukan agar Belanda dapat terus berkuasa di wilayah Hindia. Dengan kata lain, politik etis merupakan bentuk kolonialisme yang mencerahkan.
Namun, di antara sejumlah ethiek, ada pula penentangnya. Penentang kebijakan etis yang paling kuat adalah pemimpin redaksi Soerabaiasch Handelsblad, Mozes van Geuns dan pemimpin redaksi Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, Karel Wybrants.
Kutipan luar biasa dari Soerabaiasch Handelsblad tertanggal 18 Mei 1907 ini menggambarkan tingkat pencapaian surat kabar ini dalam memerangi politik etis:
"...kami menyatakan secara terbuka dan tanpa keraguan sedikit pun bahwa kami menganggap metode tersebut tidak terlalu tidak simpatik dibandingkan dengan metode yang ada saat ini."
Mereka melanjutkan: "metode untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang Timur yang bodoh, yang terbiasa bersikap tegas, menjadi sulit diatur dan kehilangan semangat jika mereka dibiarkan melakukan apa yang mereka inginkan. (…) Seseorang ingin dapat mengalahkan orang tersebut dengan cambuk yang panjang untuk mengajari mereka ketertiban dan disiplin."
Pernyataan keras bahkan ditunjukan oleh Wybrants dalam Het Nieuws van den Dag pada tahun 1915: "Penduduk asli adalah kusir yang buruk dan kejam, pekerja yang ceroboh, petani yang keras kepala dan terbelakang, pengawas yang malas, bawahan yang acuh tak acuh, tuan yang keras."
Wybrants terus menyudutkan para penduduk asli dengan menyebut: "Mereka percaya takhayul, tidak dapat diandalkan, tidak jujur, bodoh, lalai, kekanak-kanakan, lalim, budak.''
Namun bagaimana pun, Kebijakan etis tersebut tentu saja membuahkan hasil—pendidikan bagi masyarakat diperluas dan pengentasan kemiskinan terus dilakukan. Kesempatan pendidikan ini juga dimanfaatkan oleh generasi muda Hindia.
Mereka "nantinya akan menjadi garda depan nasionalisme Indonesia," sambung Ronald Frisart. Pelajar Hindia di Belanda kemudian mendirikan perkumpulan Perhimpoenan Indonesia, yang menjadi katalis nasionalisme di Hindia Belanda.
Salah satu anggota utamanya adalah mahasiswa Rotterdam yang kemudian menjadi wakil presiden Indonesia: Mohammad Hatta.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR