Nationalgeographic.co.id—Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menggagas Jakarta International Literary Festival (JILF) 2024. Tahun ini merupakan penyelenggaraan JILF yang keempat setelah yang pertama dihelat pada 2019.
“Kini kita terperangkap di zaman kalabendu Antroposen, sebuah era yang ditandai oleh dampak merusak manusia terhadap bumi dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Di sisi lain, kita menyaksikan bagaimana sejumlah karya sastra bermunculan menawarkan alternatif sudut pandang tentang cara ‘menciptakan’ dunia yang lebih baik di tengah situasi ini,” ujar Anton Kurnia, Direktur JILF dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.
Pada gelaran kali ini, JILF berkolaborasi dengan Jakarta Content Week (JakTent). Kolaborasi JILF x JakTent mengusung tema JakTent “Shared Culture, Shared Future” dan tema JILF “F/acta: Words & Actions Aligned on Eco-Literature” yang berkaitan dengan promosi sastra dan budaya serta keberlanjutan lingkungan.
Acara ini akan berlangsung 27 November sampai 1 Desember 2024 di Taman Ismail Marzuki. Malam pembukaan diselenggarakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki pukul 19.00-21.30 WIB.
Sebagai suatu rangkaian festival, JILF x JakTent akan menyelenggarakan berbagai mata acara diantaranya pameran media (bekerja sama dengan National Geographic Indonesia, Mongabay, dan Trend Asia), bazar buku (bekerja sama dengan IKAPI), forum penulis yang mengundang puluhan pembicara untuk mengisi 10 panel utama, peluncuran buku dan diskusi terkait tema, malam anugerah Sayembara Kritik Sastra (bekerja sama dengan Kusala Sastra Khatulistiwa dan sejumlah komunitas sastra di Jakarta).
Dari JakTent sejumlah stan pameran juga akan berpartisipasi, mulai dari German Stories yang menampilkan buku-buku Jerman dari berbagai genre, Arcanum Hobbies menampilkan ragam boardgame lokal, juga Jakarta Unesco City of Literature, Kota Salatiga, Mongabay, National Geographic Indonesia, dan TaCita.
Hiromi Kawakami menandai pembukaan JILF x JakTent 2024 dengan wawasan puitis dan komentarnya tentang kritik ekologi, serta kisah pribadi yang menawarkan praktik berkelanjutan dalam dunia sastra. Sebagai penulis Jepang terkemuka, Hiromi Kawakami dikenal karena narasinya yang lembut dalam mengeksplorasi hubungan manusia, alam, dan keindahan kehidupan sehari-hari dari penggambarannya tentang bencana gempa bumi dalam beberapa karyanya.
Selain Hiromi Kawakami, tokoh internasional lain yang akan hadir adalah Naghmeh Mostashar Nezami, penyair, penerjemah, dan akademisi Iran. Naghmeh terlibat aktif dalam komunitas budaya dan sastra Iran. Karya sastranya mencakup kumpulan puisi Jejak Cahaya (2000), Seteguk Apel (2002), Begitu Banyak Bintang di Langitmu, tetapi Tiada Rembulan (2004), Seribu Empat Ratus Dua Puluh Tahun Setelah Dirimu (2006), dan Berapa Banyak Ruang yang Ada di Kopormu? (2018).
Kemudian, hadir juga Isabel Fargo Cole, seorang penulis, penerjemah, dan editor. Sejak 2005, ia menerbitkan fiksi pendek dan esai dalam bahasa Jerman. Novel debutnya, Die grüne Grenze (Edition Nautilus, 2017), dinominasikan untuk Penghargaan Leipzig Book Fair; novel keduanya, Das Gift der Biene (Edition Nautilus, 2019), terpilih untuk LiteraTour Nord 2019. Pada 2022, Die Goldküste. Eine Irrfahrt muncul dalam seri penulisan alam “Naturkunden” di Matthes und Seitz. Pada 2023, ia menerima penghargaan Literaturpreis der A & A Kulturstiftung untuk karya prosanya.
Tak kalah menarik, sesi-sesi diskusi buku, pitching forum, forum penerjemah yang mendiskusikan banyak topik, mulai dari sastra, arsitektur, kuliner sampai program profesional khusus penerbit dan penerjemah yang diselenggarakan oleh JakTent. Menghadirkan pembicara-pembicara ahli seperti Hilmar Farid, Fadly Rahman, Astrid Enricka, Priti Sharma, Kristian Cordero, dan masih banyak yang lain.
Sebagai penutup, Farwiza Farhan, aktivis lingkungan asal Aceh yang terpilih dalam daftar 100 Pemimpin Masa Depan oleh majalah internasional TIME, akan menutup JILF x JakTent tahun ini. Pidato penutupnya akan merefleksikan eksplorasi festival terhadap sastra ekologi, suara-suara yang terpinggirkan, dan imajinasi radikal, dengan menekankan bagaimana kata-kata dapat mengilhami tindakan kolektif dan menumbuhkan hubungan yang lebih dalam dengan planet kita.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR