Veronika Mulia, seorang ibu lainnya yang sehari-hari bekerja sebagai petani cengkih di Desa Wewo, juga mengaku senang dengan adanya sambungan listrik ke rumahnya. “Untuk masak nasi,” ujarnya.
Sebelum menggunakan penanak nasi elektronik, Veronika terpaksa harus terbiasa menghirup asap kayu bakar. “Pakai kayu buat tungku api itu,” katanya.
Selain penanak nasi, alat elektronik lainnya yang juga terpasang di rumah Veronika adalah lampu dan televisi. “Cuma setrika tidak ada,” imbuhnya.
Kepala Desa Wewo, Laurensius Langgut, mengenang masa-masa sebelum beroperasinya PLTP Ulumbu. Aliran listrik ke Desa Wewo sangatlah terbatas. “Itu tahun 90 baru ada listrik [ke Wewo], itu pun diambil dari Ruteng. Itu tetap pakai jatah dia, istilah satu hari nyala, satu hari dia padam,” tutur Laurensius.
Kala itu, listrik di Wewo sering kali hanya menyala saat sore hingga pukul 9 malam. “Kalau malam kami hanya bisa sampai jam 9 malam. Karena selebihnya tidak bisa untuk berkerumun karena sudah tidak ada lampu. Jadi cepat tidur,” kenang Laurensius. “Tapi sekarang dengan adanya listrik [24 jam] ini kita bisa tidur sampai jam 10, 11.”
Laurensius bersyukur, “Setelah 2012 ke atas, karena dimanfaatkannya panas bumi ini, jadi hampir sudah tidak ada itu istilah padam, mati-hidup itu tidak. Itu pun kalau mati ya mungkin hanya satu jam.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR