Rumah Penyu yang telah dibangun ini diharapkan bisa melindungi telur-telur penyu dari biawak. Dengan tinggi dinding sekitar dua meter, diharapkan biawak tidak bisa naik dan masuk ke dalam rumah tersebut.
Meski memiliki tembok dan atap, sisi-sisi bagian atas rumah tersebut sengaja dibuat terbuka. Hal itu dirancang untuk tetap menjaga kestabilan suhu di dalam rumah.
"Jadi sebagian bangunan merupakan tembok, kemudian bagian atasnya diloskan seperti itu saja sehingga sirkulasi udara kemudian cahaya pun tetap masuk ke Rumah Penyu ini sehingga suhu tetap stabil," kata Dicky.
Di dalam Rumah Penyu, terdapat beberapa kolam pasir dan kolam air. Kolam pasir ini dirancang khusus untuk menyimpan telur-telur penyu sisik.
Telur-telur penyu sisik ditaruh di dalam pasir dengan kedalaman sekitar 40 cm. Patokan kedalamanan mengikuti keberadaan telur yang biasanya ditemukan di pasir pantai pulau tersebut.
Masa inkubasi telur tersebut adalah 50 sampai 60 hari. Setelah itu, telur-telur tersebut akan menetas dengan sendirinya, dan tukik-tukik yang keluar dari telur secara alamiah berkat naluri bawaan akan berjalan ke kolam air.
Kolam air merupakan tempat pembesaran tukik-tukik. Di kolam inilah para tukik diberi pakan setiap hari dengan cacahan ikan atau cumi. Air dalam kolam juga rutin diganti dua kali sehari, tiap pagi dan sore.
General Manager PHE ONWJ, Muzwir Wiratama, mengatakan bahwa selain membangun Rumah Penyu, perusahaannya juga memberikan fasilitas panel surya untuk mendukung upaya konservasi penyu tukik di Pulau Rambut ini.
"Salah satu yang kita wujudkan riil yang berhubungan dengan energi adalah kita mencoba memberikan juga energi hijau atau green energy, yakni pembuatan solar panel untuk CCTV dan juga untuk lampu rumah penyunya sehingga bisa menghasilkan telur penyu yang menetas lebih banyak," kata Wira, sapaan Wiratama.
Energi listrik yang dihasilkan dari panel surya itu juga dipakai untuk menyalakan mesin pompa air untuk menyalurkan air-air ke kolam di Rumah Penyu.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR