Nationalgeographic.co.id—Setelah melewati beberapa tahun yang penuh tantangan, pasar karbon sukarela kembali menjadi pusat perhatian dunia.
Industri ini menjanjikan aliran pendanaan yang sangat besar dari korporasi-korporasi multinasional untuk mendukung proyek-proyek lingkungan yang berdampak signifikan, seperti upaya pelestarian hutan dan pencegahan deforestasi.
Prospeknya memang menjanjikan, namun perjalanan menuju realisasi potensi ini tidaklah semulus yang diharapkan.
Pada masa lalu, pasar ini pernah mengalami masa keemasan. Namun, sejumlah permasalahan mulai mencuat, terutama terkait dengan validitas dan kredibilitas klaim yang diajukan oleh pengembang proyek.
Banyak perusahaan besar memilih untuk menarik diri dari pasar ini karena khawatir akan reputasi mereka yang ternodai oleh praktik-praktik yang tidak etis.
Akibatnya, nilai transaksi kredit karbon mengalami penurunan yang cukup drastis, merosot dari angka yang cukup signifikan sebesar 2,1 miliar dolar AS pada tahun 2021 menjadi hanya 723 juta dolar AS pada tahun berikutnya, seperti yang dilaporkan oleh Ecosystem Marketplace.
Ketidakpercayaan inilah yang kemudian memicu upaya untuk merevitalisasi pasar karbon sukarela. Para pemangku kepentingan berusaha keras untuk merumuskan kerangka regulasi yang lebih kuat dan transparan, dengan harapan dapat mengembalikan kepercayaan para investor.
Namun, proses ini tidaklah mudah. Perbedaan pendapat dan perselisihan kepentingan seringkali muncul, terutama dalam menyusun definisi yang jelas mengenai apa yang dianggap sebagai proyek yang berkualitas dan layak mendapatkan kredit karbon.
Argumen kualitas ICVCM dipublikasikan
Dewan Integritas untuk Pasar Karbon Sukarela (ICVCM), sebuah organisasi yang berdedikasi untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap pasar kredit karbon yang semakin kompleks, telah menghadapi tantangan signifikan dalam upayanya menerapkan standar kualitas yang ketat dan diakui secara luas.
Baru-baru ini, muncul perpecahan di antara para ahli yang terlibat dalam pengembangan Prinsip Karbon Inti ICVCM, sebuah kerangka kerja yang bertujuan untuk mendefinisikan proyek-proyek kredit karbon berkualitas tinggi.
Baca Juga: Te Moana-nui-a-Kiwa, Kawasan 'Blue Carbon' Terbesar Dunia yang Dijaga Suku Maori
Empat orang ahli yang sebelumnya memberikan masukan atas pengembangan prinsip-prinsip ini secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap keputusan terbaru ICVCM, dengan salah satu dari mereka bahkan mengambil langkah tegas untuk mengundurkan diri sebagai bentuk protes.
Ketegangan ini berakar pada upaya ICVCM sepanjang tahun 2023 untuk mengevaluasi dan memberikan persetujuan terhadap berbagai "metodologi" yang digunakan oleh pengembang proyek kredit karbon.
Metodologi ini merupakan pedoman teknis yang mendasari pelaksanaan proyek-proyek tersebut, demikian penjelasan Financial Times.
Puncak dari perselisihan ini terjadi pada tanggal 15 November ketika ICVCM mengumumkan persetujuannya terhadap tiga metodologi baru yang mencakup skema penjualan kredit karbon terkait dengan upaya pencegahan deforestasi.
Keputusan ini memicu reaksi keras dari keempat ahli tersebut, yang kemudian menerbitkan sebuah tulisan kritis.
Dalam tulisan tersebut, para ahli berargumen bahwa ICVCM telah membuat kesalahan serius dengan menyetujui metodologi-metodologi yang menurut mereka tidak memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan.
Rencana baik, tapi perlu eksekusi lebih baik
Konsep dasar proyek-proyek tersebut pada dasarnya adalah pengembang berkomitmen untuk menjaga kelestarian hutan yang seharusnya akan ditebang jika tidak ada intervensi, dan sebagai imbalannya, mereka mendapatkan kredit karbon.
Kredit ini mewakili jumlah emisi karbon dioksida yang berhasil dihindari karena hutan tersebut tidak dikonversi menjadi lahan lain. Namun, skeptisisme terhadap pendekatan ini cukup beralasan.
Bagaimana kita bisa memastikan jumlah pastinya berapa banyak hutan yang akan ditebang jika tidak ada proyek ini? Bukankah ini seperti mencoba menebak masa depan?
Kritik terbaru terhadap proyek-proyek semacam ini tidak sepenuhnya menolak manfaatnya.
Baca Juga: Ketika Menghitung 'Blue Carbon' Malah Menjadi Paradoks yang Mengerikan
Jürg Füssler, seorang ahli yang sebelumnya menjadi anggota panel penasihat ahli ICVCM (Iniciative for Carbon-free Economy), menyebut, "Proyek-proyek ini sangat penting jika dilakukan dengan cara yang benar."
Namun, Füssler dan rekan-rekannya yang lain, termasuk Lambert Schneider yang juga mengundurkan diri dari panel ahli ICVCM, menggarisbawahi sejumlah kelemahan serius dalam metodologi yang saat ini digunakan.
Salah satu masalah utama terletak pada perhitungan garis dasar, yaitu tingkat deforestasi yang digunakan sebagai acuan untuk menilai keberhasilan suatu proyek.
Jika tingkat deforestasi dalam proyek tersebut lebih rendah dari garis dasar, maka proyek tersebut dianggap berhasil dan berhak menerbitkan kredit karbon.
Sayangnya, metode perhitungan garis dasar yang baru-baru ini disetujui oleh Verra (registri karbon terbesar dunia) dan program ART, justru menimbulkan kekhawatiran.
Ketiga metodologi tersebut sama-sama menggunakan data deforestasi beberapa tahun sebelum proyek dimulai sebagai dasar perhitungan.
Penggunaan data historis ini rentan terhadap berbagai bias dan ketidakpastian, sehingga dapat menghasilkan perkiraan garis dasar yang tidak akurat.
Akibatnya, proyek-proyek yang sebenarnya tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi karbon, justru dapat memperoleh kredit karbon dalam jumlah yang cukup besar.
Potensi inflasi kredit
Salah satu kekhawatiran utama terkait dengan mekanisme kredit karbon tersebut adalah potensi terjadinya inflasi kredit.
Jika suatu negara berhasil mengurangi laju deforestasi secara signifikan melalui kebijakan pemerintah yang lebih ketat, pengembang proyek berpotensi menjual sejumlah besar kredit karbon, bahkan tanpa adanya proyek konservasi tambahan.
Baca Juga: Bagaimana Pulau di Filipina 'Lolos' dari Ancaman Tenggelam Berkat Ekosistem Karbon Biru?
Hal ini terjadi karena kredit karbon tersebut dihitung berdasarkan perbandingan antara kondisi aktual dengan skenario bisnis-sebagai-biasa (business-as-usual), yang mana skenario ini telah berubah akibat kebijakan pemerintah yang baru.
Selain itu, para ahli juga menyoroti fleksibilitas yang berlebihan dalam metodologi perhitungan manfaat karbon. Hal ini memungkinkan pengembang proyek untuk memilih data yang menguntungkan, sehingga dapat melebih-lebihkan jumlah emisi yang berhasil dikurangi.
Akibatnya, muncul kekhawatiran bahwa sejumlah besar kredit karbon yang diperdagangkan tidak benar-benar mewakili pengurangan emisi yang nyata di lapangan.
Dalam sebuah pernyataan tertulis, para kritikus menyatakan, "Mengingat skala aktivitas perdagangan kredit karbon yang semakin besar, kami khawatir bahwa metodologi yang ada saat ini dapat memicu lonjakan volume kredit karbon yang tidak didukung oleh pengurangan emisi aktual."
Menanggapi kritik tersebut, Verra menyatakan bahwa metodologi barunya telah melewati proses evaluasi yang sangat ketat dan didukung oleh landasan ilmiah yang kuat, kredibel, serta terus berkembang.
Sementara itu, ART mengapresiasi pengakuan ICVCM terhadap ketelitian pendekatan yang mereka gunakan.
Dalam wawancara dengan Amy Merrill, Kepala Operasi ICVCM, dan Pedro Martins Barata, Ketua Bersama Panel Ahli ICVCM, keduanya menegaskan bahwa lembaga tersebut didirikan dengan tujuan mengakomodasi beragam perspektif dari para ahli di berbagai bidang.
Merrill menekankan bahwa, "Sistem ini tidak dirancang untuk memaksakan konsensus di antara para ahli. Sebaliknya, anggota panel ahli diberikan kebebasan penuh untuk menyampaikan pendapat mereka secara independen. Inilah esensi dari mekanisme ini."
Mekanisme revisi berkala
Martins Barata, dalam pernyataannya, menekankan bahwa potensi kelebihan kredit yang mungkin timbul dalam proyek-proyek pengembangan dapat diatasi melalui mekanisme revisi berkala terhadap garis dasar kredit.
Revisi ini, yang umumnya dilakukan setiap lima hingga sepuluh tahun sekali, berfungsi sebagai upaya proaktif untuk menjaga agar alokasi kredit tetap relevan dan sesuai dengan perkembangan proyek.
Baca Juga: Gara-gara Pukat Harimau, Karbon Biru Bumi Terancam, Kok Bisa?
Lebih lanjut, Barata mengakui bahwa sejumlah risiko potensial telah diidentifikasi oleh para ahli dan telah didokumentasikan secara rinci dalam laporan yang menyertai pengambilan keputusan pada bulan lalu.
Meskipun risiko-risiko ini bersifat nyata, namun setelah dilakukan evaluasi mendalam, kesimpulan yang diambil adalah bahwa dampaknya tidak cukup signifikan untuk mengompromikan kesesuaian metodologi yang digunakan dengan standar ICVCM.
Dalam konteks ini, Barata mempertanyakan apakah risiko-risiko tersebut dapat dikelola atau apakah tingkat risikonya masih berada dalam batas toleransi yang dapat diterima. Jawaban tegas yang diberikan oleh Barata adalah risiko-risiko tersebut dapat dikelola dan berada dalam tingkat yang dapat ditoleransi.
"Apakah risiko ini tidak dapat dikelola? Atau apakah itu dalam tingkat yang dapat ditoleransi? Dan kami mengatakan ya [pada pertanyaan terakhir]," kata Martins Barata.
Dengan kata lain, apakah para calon pembeli akan menganggap bahwa tingkat risiko yang ada masih berada dalam batas yang dapat mereka terima sehingga keputusan untuk mengakuisisi perusahaan tersebut tetap menjadi pilihan yang menarik?
KOMENTAR