Ketika Uskup Nicholas akhirnya dibebaskan, ia berubah. Ia kemudian mempertaruhkan nyawanya untuk orang-orang yang belum pernah ia temui. Hal ini dilakukan mungkin karena ia tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang tidak bersalah dan kebebasannya dirampas.
Santo Nicholas dikisahkan membagikan kantong-kantong emas kepada keluarga miskin. Kisahnya itu mungkin menjadi inspirasi bagi tokoh Sinterklas yang periang dan berpipi merah.
Nicholas adalah orang kaya, jadi ketika ia menyumbangkan emasnya, itu adalah tindakan kebaikan. Ia memutuskan untuk melakukan kebaikan secara anonim, hal ini menunjukkan kerendahan hatinya. Tindakan itu menggambarkan tindakan seorang uskup yang penuh kasih, yang kini menjadi orang suci dalam agama Katolik.
Dan seiring berlalunya abad, legenda Santo Nicholas semakin berkembang – begitu pula keajaiban yang dikaitkan dengannya. Dari mengendalikan cuaca hingga muncul di hadapan Kaisar Romawi dalam mimpi, tampaknya hanya sedikit yang tidak dapat dilakukan olehnya.
Ia menjadi santo pelindung anak-anak, pegadaian, wanita yang belum menikah, pelaut, penjahat yang bertobat, pelajar, dan pebisnis. Ia juga menjadi pelindung kota-kota Eropa yang tak terhitung jumlahnya. Dan tentu saja akhirnya ia digambarkan kembali sebagai Sinterklas.
Sinterklas sang pembawa hadiah Natal
Sekitar tahun 1200, menurut sejarawan Universitas Manitoba Gerry Bowler, Santo Nicholas dikenal sebagai pelindung anak-anak dan pembawa hadiah ajaib. Hal ini berkat kisah hidup dari sang Uskup Myra.
Selama beberapa ratus tahun, sekitar tahun 1200 hingga 1500, Santo Nicholas adalah pembawa hadiah yang tak tertandingi. Hari rayanya dirayakan setiap tanggal 6 Desember.
Santo yang tegas ini mengambil beberapa aspek dari dewa-dewi Eropa sebelumnya. Seperti Saturnus Romawi atau Odin Nordik, yang muncul sebagai pria berjanggut putih dan memiliki kekuatan magis seperti terbang. Ia juga memastikan bahwa anak-anak mematuhi aturan dengan mengucapkan doa dan mempraktikkan perilaku yang baik.
Setelah Reformasi Protestan pada tahun 1500-an, orang-orang suci seperti Nicholas tidak lagi disukai di sebagian besar Eropa utara.
“Hal itu menjadi masalah,” kata Bowler. “Anda mencintai anak-anak Anda, tetapi sekarang siapa yang akan memberi mereka hadiah?”
Bowler mengatakan bahwa, dalam banyak kasus, tugas itu jatuh ke tangan Bayi Yesus. Jadi, tanggal perayaannya pun dipindah ke Natal, bukan 6 Desember.
Namun, daya dukung Bayi Yesus sangat terbatas dan penampilannya tidak menakutkan. Jadi, Bayi Yesus sering didampingi oleh pembantu yang menakutkan untuk membawa hadiah. Sang pembantu itu mengancam anak-anak yang nakal.
Beberapa tokoh Jerman yang menakutkan ini kembali didasarkan pada Nicholas. Santo Nicholas tidak lagi sebagai orang suci tetapi sebagai sahabat karib yang mengancam. Misalnya Ru-klaus (Nicholas Kasar), Aschenklas (Nicholas Abu-abu), dan Pelznickel (Nicholas Berbulu). Tokoh-tokoh ini mengharapkan perilaku yang baik atau memaksa anak-anak untuk menanggung konsekuensi seperti cambukan atau penculikan. Berbeda dengan pria periang berbaju merah, karakter-karakter penuh warna ini kemudian muncul dalam perkembangan Sinterklas sendiri.
Berawal dari Uskup yang berjuang melawan ketidakadilan, kini Sinterklas menjadi salah satu simbol perayaan Natal yang selalu hadir setiap tahun.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR