Nationalgeographic.co.id—Santa Claus atau Sinterklas didasarkan pada tokoh sejarah dunia yang nyata, Santo Nicholas. Ia adalah seorang Uskup Bizantium yang lahir di Turki modern. Karena legenda dan mukjizat luar biasa yang dikaitkan dengannya, ia menjadi salah satu orang suci paling populer di Eropa.
Para migran Belanda mungkin menyebarkan ketenarannya ke Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, santo pelindung anak-anak itu diubah menjadi tokoh Sinterklas, atau Bapak Natal, yang kita kenal sekarang.
Ada cerita tentang Santo Nicholas yang diketahui semua orang. Kisah tersebut menggambarkan Santo Nicholas yang memberikan hadiah kepada orang miskin di tengah malam. Kisah inilah yang menjadi asal-usul Sinterklas.
Namun, ada cerita lain yang mungkin kurang dikenal, cerita tentang bagaimana Santo Nicholas berjuang melawan ketidakadilan. Cerita dimulai ketika seorang pengusaha lokal pergi menemui gubernur provinsi. Karena alasan yang hilang dalam sejarah, ia ingin tiga orang yang tidak bersalah, Nepotian, Ursyna, dan Apollyn, dibunuh. Gubernur, seorang pria yang terkenal tidak jujur bernama Eustathios, dengan senang hati membantu.
Catatan paling awal tentang kehidupan Santo Nicholas dapat ditemukan di Bibliotheca Hagiographica Graeca. Dokumentasi itu diyakini ditulis pada paruh pertama abad ke-9 oleh Michael sang Archimandrite. Tulisan itu menunjukkan bahwa setelah suap dibayarkan, para pria itu dijatuhi hukuman mati.
Kabar tentang apa yang terjadi sampai ke telinga Santo Nicholas dan ia bergegas ke alun-alun. Algojo mengangkat pedangnya untuk membunuh tahanan pertama. Saat itu, Santo Nicholas melemparkan dirinya di antara algojo dan pria yang dihukum itu. Sambil meraih lengan algojo, ia mencabut pedangnya dan melepaskan ikatan para pria tak bersalah itu. Santo Nicholas pun membebaskan mereka.
“Ia kemudian menegur gubernur,” tulis Brian Thornton di laman The Conversation. Ketika berhadapan dengan kemarahan Santo Nicholas, Eustathios berlutut dan bertobat. Sang gubernur pun berjanji untuk mengubah kebiasaannya.
Kisah di atas adalah gambaran Santo Nicholas yang sangat berbeda dari yang biasa dilihat kebanyakan orang di abad ke-21. Ia bukanlah uskup yang baik dan rendah hati di abad ke-4, yaitu proto-Sinterklas. Sebaliknya, bak pahlawan laga, Santo Nicholas yang tidak takut menghadapi pedang algojo.
Sebagai Uskup Myra – kota pesisir di wilayah yang sekarang disebut Turki – Santo Nicholas adalah tokoh Kristen terkemuka di Kekaisaran Romawi. Di saat yang sama, Kekaisaran Romawi semakin khawatir tentang meningkatnya kekuatan Kristen.
Kaisar Romawi Diokletianus memutuskan sudah waktunya untuk mengambil tindakan. Ia memerintahkan penyiksaan terhadap setiap orang Kristen yang menolak menyembah dewa-dewa Romawi. Hal itu memicu teror. Santo Nicholas adalah salah satu dari mereka yang dipenjara dan disiksa. Penganiayaan oleh Diokletianus berlangsung antara 8 dan 10 tahun.
Baca Juga: Mengenal Ded Moroz, Sinterklas versi Rusia 'Pembawa' Nilai Komunis
Ketika Uskup Nicholas akhirnya dibebaskan, ia berubah. Ia kemudian mempertaruhkan nyawanya untuk orang-orang yang belum pernah ia temui. Hal ini dilakukan mungkin karena ia tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang tidak bersalah dan kebebasannya dirampas.
Santo Nicholas dikisahkan membagikan kantong-kantong emas kepada keluarga miskin. Kisahnya itu mungkin menjadi inspirasi bagi tokoh Sinterklas yang periang dan berpipi merah.
Nicholas adalah orang kaya, jadi ketika ia menyumbangkan emasnya, itu adalah tindakan kebaikan. Ia memutuskan untuk melakukan kebaikan secara anonim, hal ini menunjukkan kerendahan hatinya. Tindakan itu menggambarkan tindakan seorang uskup yang penuh kasih, yang kini menjadi orang suci dalam agama Katolik.
Dan seiring berlalunya abad, legenda Santo Nicholas semakin berkembang – begitu pula keajaiban yang dikaitkan dengannya. Dari mengendalikan cuaca hingga muncul di hadapan Kaisar Romawi dalam mimpi, tampaknya hanya sedikit yang tidak dapat dilakukan olehnya.
Ia menjadi santo pelindung anak-anak, pegadaian, wanita yang belum menikah, pelaut, penjahat yang bertobat, pelajar, dan pebisnis. Ia juga menjadi pelindung kota-kota Eropa yang tak terhitung jumlahnya. Dan tentu saja akhirnya ia digambarkan kembali sebagai Sinterklas.
Sinterklas sang pembawa hadiah Natal
Sekitar tahun 1200, menurut sejarawan Universitas Manitoba Gerry Bowler, Santo Nicholas dikenal sebagai pelindung anak-anak dan pembawa hadiah ajaib. Hal ini berkat kisah hidup dari sang Uskup Myra.
Selama beberapa ratus tahun, sekitar tahun 1200 hingga 1500, Santo Nicholas adalah pembawa hadiah yang tak tertandingi. Hari rayanya dirayakan setiap tanggal 6 Desember.
Santo yang tegas ini mengambil beberapa aspek dari dewa-dewi Eropa sebelumnya. Seperti Saturnus Romawi atau Odin Nordik, yang muncul sebagai pria berjanggut putih dan memiliki kekuatan magis seperti terbang. Ia juga memastikan bahwa anak-anak mematuhi aturan dengan mengucapkan doa dan mempraktikkan perilaku yang baik.
Setelah Reformasi Protestan pada tahun 1500-an, orang-orang suci seperti Nicholas tidak lagi disukai di sebagian besar Eropa utara.
“Hal itu menjadi masalah,” kata Bowler. “Anda mencintai anak-anak Anda, tetapi sekarang siapa yang akan memberi mereka hadiah?”
Bowler mengatakan bahwa, dalam banyak kasus, tugas itu jatuh ke tangan Bayi Yesus. Jadi, tanggal perayaannya pun dipindah ke Natal, bukan 6 Desember.
Namun, daya dukung Bayi Yesus sangat terbatas dan penampilannya tidak menakutkan. Jadi, Bayi Yesus sering didampingi oleh pembantu yang menakutkan untuk membawa hadiah. Sang pembantu itu mengancam anak-anak yang nakal.
Beberapa tokoh Jerman yang menakutkan ini kembali didasarkan pada Nicholas. Santo Nicholas tidak lagi sebagai orang suci tetapi sebagai sahabat karib yang mengancam. Misalnya Ru-klaus (Nicholas Kasar), Aschenklas (Nicholas Abu-abu), dan Pelznickel (Nicholas Berbulu). Tokoh-tokoh ini mengharapkan perilaku yang baik atau memaksa anak-anak untuk menanggung konsekuensi seperti cambukan atau penculikan. Berbeda dengan pria periang berbaju merah, karakter-karakter penuh warna ini kemudian muncul dalam perkembangan Sinterklas sendiri.
Berawal dari Uskup yang berjuang melawan ketidakadilan, kini Sinterklas menjadi salah satu simbol perayaan Natal yang selalu hadir setiap tahun.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR