Nationalgeographic.co.id—Pada zaman Yunani kuno, kaum Parthenia merupakan kelompok unik yang lahir dari hubungan antara wanita Sparta dengan pria non-Sparta di luar pernikahan. Keberadaan mereka mencerminkan dinamika sosial, politik, dan militer yang kompleks, memberikan wawasan unik tentang masyarakat Sparta.
Parthenia muncul selama Perang Messenia Pertama (sekitar 743–724 SM), konflik berkepanjangan antara Sparta dan wilayah tetangganya, Messenia.
Populasi bangsa Sparta yang kecil selalu menjadi ancaman bagi kelangsungan kekuatan mereka. Sebagai masyarakat militer, Sparta sangat membutuhkan keturunan, terutama prajurit untuk menjaga dominasi mereka atas Perioikoi (penduduk bebas non-warga negara) dan Helot (budak), sekaligus mempertahankan reputasi mereka sebagai kekuatan militer utama di Yunani kuno.
Selama perang tersebut, banyak pria Sparta gugur di medan pertempuran. Sementara itu, di dalam kota, tidak ada generasi baru yang dilahirkan karena mayoritas pria yang subur tidak ada.
Risiko penyusutan populasi menjadi masalah serius. Untuk mengatasinya, Senat Sparta memutuskan agar wanita dan janda Sparta yang belum menikah menjalani hubungan seksual dengan Perioikoi (dan menurut beberapa sumber, juga dengan Helot) demi menghasilkan keturunan.
Anak-anak yang lahir dari hubungan ini dianggap tidak sah dalam struktur sosial Sparta, tetapi mereka tetap diakui sebagai keturunan yang lahir berdasarkan perintah Senat.
Dalam konteks budaya Sparta, wanita-wanita ini tidak dianggap kehilangan kehormatan, karena tindakan mereka dipandang sebagai pengabdian kepada negara.
Oleh karena itu, mereka dianggap secara simbolis "tetap perawan". Anak-anak hasil hubungan ini disebut Parthenia, yang berarti "anak-anak perawan".
Setelah situasi stabil, para wanita Sparta ini menikah sebagaimana mestinya dan melahirkan anak-anak yang sah. Hal ini memperkuat peran unik Parthenia dalam sejarah masyarakat Sparta pada zaman Yunani kuno.
Peran Parthenia dalam Masyarakat Sparta
Parthenia menempati posisi yang ambigu dalam hierarki sosial Sparta. Mereka bukanlah budak seperti para Helot, tetapi mereka juga tidak memiliki status sebagai warga negara penuh.
Baca Juga: Kisah Gorgo, Ratu Bijak Bangsa Sparta pada Zaman Yunani Kuno
Pengucilan dari hak-hak politik dan elite militer Sparta menimbulkan rasa kecewa di kalangan Parthenia, terutama karena mereka memiliki garis keturunan Sparta tetapi tidak diakui sepenuhnya.
Ketidakpuasan ini memuncak setelah perang berakhir, ketika Parthenia merasa dikhianati dan ditinggalkan oleh bangsa Sparta. Catatan sejarah menunjukkan bahwa mereka menjadi kekuatan yang mengganggu stabilitas masyarakat Sparta, memicu ketegangan dalam sistem sosial yang sudah sangat terstratifikasi.
Pendirian Kota Taras (Tarentum)
Sparta mengumpulkan kaum Parthenia dan secara resmi mengutus mereka untuk mendirikan sebuah koloni di wilayah Italia selatan. Sparta kemudian menunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin, yaitu Phalanthos.
Dengan demikian, Sparta terbebas dari tuntutan kelompok ini tanpa konflik atau pertumpahan darah. Pada tahun 706 SM, kaum Parthenia berangkat ke Italia selatan dan mendirikan kota Taras. Kota ini kemudian menjadi salah satu koloni terpenting dalam wilayah Yunani Kuno Raya (Magna Graecia).
Taras berkembang menjadi koloni besar dengan pencapaian yang kuat dalam bidang budaya, ekonomi, dan militer. Pada tahun 500 SM, kota ini telah menjadi salah satu kota terbesar pada masanya dengan populasi sekitar 300.000 jiwa.
Banyak tokoh terkenal seperti filsuf Archytas, jenderal Aristoxenos, dan penulis Livios Andronikos lahir di sana.
Pada masa Romawi, Taras tetap memikat dengan keindahannya. Penyair Horace, dalam salah satu puisinya, mengungkapkan keinginannya untuk pensiun di kota itu pada masa tuanya.
Ia menggambarkan Taras sebagai tempat di mana musim semi berlangsung lama, musim dingin terasa sejuk, dan tanahnya memberikan hasil yang melimpah.
Taras menjadi salah satu koloni Yunani kuno paling sukses di wilayah Mediterania Barat, terkenal karena kekuatan angkatan lautnya, ekonomi yang dinamis, dan pencapaian budayanya.
Saat ini, Taras (yang kini dikenal sebagai Taranto) adalah salah satu kota daratan terbesar di Italia selatan, dengan industri modern seperti pabrik baja dan besi, pabrik kimia, kilang minyak, galangan kapal, serta pabrik pengolahan makanan.
Phalanthos menamai koloni tersebut sesuai dengan nama putranya, Herakles Tarantas. Dari nama ini, kita mendapatkan istilah tarian tarantula dan laba-laba tarantula.
Dengan demikian, kaum Parthenia, yang dulu dianggap hina dan diasingkan, memberikan warisan luar biasa kepada umat manusia berupa kota bersejarah yang gemilang. Taras terus berkembang dan bertahan selama lebih dari 2.700 tahun.
Warisan Kaum Parthenia
Kisah kaum Parthenia mengungkap sifat kaku masyarakat Sparta, terutama dalam mempertahankan aturan kewarganegaraan mereka, bahkan di tengah krisis demografis. Cerita ini juga menyoroti ketegangan yang muncul antara hierarki sosial yang ketat dan kebutuhan praktis selama masa perang dan ketidakstabilan.
Pengasingan kaum Parthenia memang menjadi kerugian bagi Sparta. Namun, pendirian kota Taras oleh mereka memastikan bahwa warisan ini terus hidup.
Taras menjadi simbol keberhasilan penyebaran budaya dan pengaruh Yunani kuno di wilayah Mediterania Barat. Hingga hari ini, kisah kaum Parthenia menjadi pengingat penting akan dinamika sosial yang rumit dalam salah satu negara-kota paling unik dalam sejarah Yunani kuno.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR