Nationalgeographic.co.id—Ketika Natal tiba, Sinterklas tidak bekerja sendirian berbagi hadiah dan kebaikan. Dia memiliki banyak kawan kecil yang membantunya, berupa peri (elf) yang kerap digambarkan berpakaian tebal berwarna hijau.
Asal-usul kemunculan peri natal berasal dari kebudayaan Eropa utara. Dalam mitologi Nordik kuno, alfar digambarkan sebagai "orang-orang tersembunyi" yang juga disebut sebagai "huldufólk". Mereka memiliki posisi istimewa sebagai pendamping dewa-dewi Nordik. Para ahli folklor memperkirakan peranan mereka mungkin sama dengan Vanir--dewa-dewi yang menjaga kesuburan.
Asal-usul peri yang tidak tunggal di Eropa
Melansir Live Science, ahli folklor Terry Gunnell menyebutkan agar berhati-hati menerjemahkan alfar dengan peri dalam bahasa Inggris yang biasa disebut sebagai elf. Bisa jadi, kemunculan mitologi elf dipengaruhi ragam budaya di Eropa yang telah ada, dan alfar hanyalah salah satu di antaranya.
Kemungkinan besar, terang Gunnel, para pencetus adanya elf tidak punya teori tunggal tentang identitas elf. Mereka adalah ras yang tidak terlihat yang ada di pelbagai kepercayaan rakyat.
"Mereka tampak seperti kita, mereka hidup seperti kita — setidaknya dalam bukti-bukti kuno — dan mungkin, saat ini, jika mereka tinggal di suatu tempat, mereka tinggal di antara lantai-lantai di flat [apartemen]," kata Gunnell.
Inggris kuno pun memiliki keyakinan tentang sosok serupa manusia yang dapat menjadi cikal peri elf. Orang Inggris kuno mengenal elf sebagai ras jahat yang terdokumentasikan dalam wiracarita abad pertengahan Beowulf yang ditulis sekitar abad kedelapan dan sebelas Masehi.
Karena pengaruh agama Kristen sudah berkembang di Eropa, elf dalam Beowulf disebut sebagai keturunan Kain, putra Adam dan Hawa yang dalam Alkitab membunuh Abel.
Jika secara Alkitabiah disebutkan bahwa keturunan Kain adalah Henokh--leluhur Nuh, Beowulf justru menceritakan bahwa keturunan Kain sangat hina berupa etin, elf, roh-roh jahat, dan raksasa yang berperang denga Tuhan.
Narasi elf sebagai peri yang baik muncul pada masa-masa pencerahan Eropa, ketika referensi-referensi keagamaan semakin berbenturan dengan kepercayaan lokal. Elf digambarkan sebagai sosok yang bisa menjadi baik atau jahat. Ras yang awalnya dianggap sebagai kurcaci dan makhluk kejam, mulai dianggap memiliki karakteristik serupa manusia.
Sastrawan Inggris William Shakespeare menulis tentang elf sebagai peri yang jauh lebih baik dari sebelumnya. "A Midsummer Night's Dream" sebagai salah satu contohnya yang ditulis Shakespeare pada paruh akhir abad ke-16. Dia menuliskan elf bernama Puck sebagai pelawak tetapi juga bisa menipu.
Baca Juga: Tokoh Nyata yang Melawan Ketidakadilan Jadi Inspirasi Sinterklas
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR