Nationalgeographic.co.id - Tatanan struktur Sumatra Barat telah hadir sejak lama. Peradaban Minangkabau pernah berdaulat secara mandiri lewat Kerajaan Pagaruyung yang diperkirakan berdiri pada abad ke-14. Dituliskan pada bagian arca Amoghapasa bahwa pada 1347, Adityawarman menyatakan dirinya sebagai raja Malayapura (Kerajaan Melayu).
Menurut sejarawan, Adityawarman diduga sebagai pendiri Kerajaan Pagaruyung yang merupakan keturunan Minangkabau–Jawa. Ayahnya adalah Adwayawarman, pemimpin ekspedisi Pamalayu dari Kerajaan Kediri di Jawa Timur. Sedangkan ibunya bernama Dara Jingga, seorang putri dari Kerajaan Dharmasraya.
Sosok Adityawarman punya peranan penting. Disebutkan ia pernah menaklukkan Bali dan Palembang bersama Mahapatih Kerajaan Majapahit Gajah Mada.
Pada saat itu, Adityawarman merupakan raja bawahan dari Majapahit di Sumatra. Hanya saja, ia berusaha melepas cengkeraman kuasa kerajaan dari Jawa itu untuk menjadikan kuasa miliknya di tanah Sumatra.
Adityawarman dipandang sah sebagai raja di tanah Minangkabau. Pasalnya, kebudayaan Sumatra Barat dari suku Minangkabau menurunkan warisan kuasa berdasarkan keturunan ibu atau matrilineal. Tradisi ini pun masih berlangsung hingga hari ini kepada kalangan ninik mamak (pimpinan adat suku Minangkabau).
Kedaulatan Minangkabau yang mandiri dimulai dari sini, saat Adityawarman berhasil melebarkan Kerajaan Pagaruyung hingga wilayah Sumatra Tengah. Kerajaan Pagaruyung yang masih muda saat itu, bahkan berhasil berdiplomasi dengan berbagai kerajaan luar, termasuk mengirim enam kali utusan ke Dinasti Ming di Tiongkok antara 1371–1377.
Triumvirat Kerajaan Pagaruyung
Sekitar 1375, Adityawarman meninggal. Kerajaan Pagaruyung diduga menjadi incaran invasi Kerajaan Majapahit pada awal abad ke-15. Ditambah lagi, beberapa kawasan yang sebelumnya di bawah Kerajaan Pagaruyung terlepas, seperti Siak, Kampar, Indragiri, dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.
Sementara itu, tatanan politik pada masyarakat Minangkabau berubah menjadi triumvirat yang disebut rajo tigo selo. Sistem egaliter ini membuat Kerajaan Pagaruyung pada masa selanjutnya memiliki tiga raja serangkai untuk bidang pemerintah, adat, dan agama.
Kekuasaan eksekutif dibantu oleh basa ampat balai yang merupakan dewan menteri. Sistem ini membuat masyarakat Minangkabau memiliki tradisi politik yang egaliter dan bermusyawarah.
Islam telah menyebar ke Nusantara sebelum abad ke-10. Akan tetapi, pengaruhnya semakin kuat pada abad ke-15 hingga ke-17, terutama pada tatanan Kerajaan Pagaruyung yang sebelumnya mengadopsi agama Hindu dan Buddha. Kerajaan ini pun mengadopsi politik dengan gaya islami dan mengubah nama menjadi Kesultanan Pagaruyung.
Baca Juga: Otokritik Buya Hamka Terhadap Adat Minangkabau dalam Karya Sastranya
Sultan pertama Kesultanan Pagaruyung adalah Sultan Alif pada abad ke-17. Islam begitu kuat akibat pengaruh dari Kesultanan Aceh dan Malaka. Hanya saja, Kesultanan Pagaruyung harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh yang telah merebut banyak kawasannya.
Pada abad ke-17, berangsur-angsur Kerajaan Pagaruyung kembali berjaya karena lokaisnya berada di pesisir barat Pulau Sumatra. Lokasinya yang secara geografis, memudahkan banyak pedagang dari berbagai negara jauh berkunjung.
Sumber daya alam yang membuat pesona nagari-nagari Minangkabau kaya adalah produksi emasnya. Hasil tambang ini menarik perhatian kongsi dagang kerajaan-negara di Eropa seperti Belanda melalui VOC dan Inggris dengan EIC.
Pada 1684, untuk pertama kalinya dalam sejarah masyarakat Minangkabau, Kesultanan Pagaruyung menjalin hubungan dengan VOC. Hubungan ini sempat terputus ketika Kerajaan Pagaruyung sempat menjalin hubungan dengan Kerajaan Inggris pada 1795–1819.
Surutnya kedaulatan Kesultanan Pagaruyung
Melemahnya Kesultanan Pagaruyung terjadi pada awal abad ke-19. Pada masa ini terjadi perang saudara yang disebut sebagai Perang Padri yang terjadi antara tahun 1803–1838.
Perpecahan terjadi akibat dorongan agamawan Islam (Kaum Padri) yang berniat menggantikan tradisi dan adat istiadat dengan syariat Islam. Tentunya ini merusak tatanan yang sudah melekat dengan masyarakat kebudayaan Minangkabau, bagi Kesultanan Pagaruyung (Kaum adat).
Namun kekuatan Kaum Padri begitu kuat, membuat Sultan Alam Bagagarsyah harus mengungsi ke Batavia (kini Jakarta). Melihat kondisi ini, Belanda yang telah memiliki koloni yang luas sebagai Hindia Belanda, membantu Kesultanan Pagaruyung menghadapi Kaum Padri.
Awalnya, pihak Belanda berniat untuk membebaskan Kesultanan Pagaruyung dari Kaum Padri dan berdalih untuk ‘menjadi rekan bisnis’. Nyatanya, Belanda berniat untuk menjadikan Kesultanan Pagaruyung sebagai kawasan jajahan.
Hal ini membuat Kaum Padri dan Kaum Adat bersatu. Diperkirakan pada periode inilah muncul istilah falsafah "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (adat bersandarkan syariat, syariat berdasarkan Alquran)" yang melekatkan antara ajaran Islam dan adat Minangkabau.
Pada akhirnya, kekuatan masyarakat Minangkabau tidak mampu mengalahkan kekuatan Belanda. Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada 1833 dengan tuduhan sebagai pengkhianat dan dibuang ke Batavia. Sejarah Kesultanan Pagaruyung yang awalnya berdaulat oleh masyarakat Minangkabau beralih di bawah penguasaan Belanda sejak saat itu.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR