Sultan pertama Kesultanan Pagaruyung adalah Sultan Alif pada abad ke-17. Islam begitu kuat akibat pengaruh dari Kesultanan Aceh dan Malaka. Hanya saja, Kesultanan Pagaruyung harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh yang telah merebut banyak kawasannya.
Pada abad ke-17, berangsur-angsur Kerajaan Pagaruyung kembali berjaya karena lokaisnya berada di pesisir barat Pulau Sumatra. Lokasinya yang secara geografis, memudahkan banyak pedagang dari berbagai negara jauh berkunjung.
Sumber daya alam yang membuat pesona nagari-nagari Minangkabau kaya adalah produksi emasnya. Hasil tambang ini menarik perhatian kongsi dagang kerajaan-negara di Eropa seperti Belanda melalui VOC dan Inggris dengan EIC.
Pada 1684, untuk pertama kalinya dalam sejarah masyarakat Minangkabau, Kesultanan Pagaruyung menjalin hubungan dengan VOC. Hubungan ini sempat terputus ketika Kerajaan Pagaruyung sempat menjalin hubungan dengan Kerajaan Inggris pada 1795–1819.
Surutnya kedaulatan Kesultanan Pagaruyung
Melemahnya Kesultanan Pagaruyung terjadi pada awal abad ke-19. Pada masa ini terjadi perang saudara yang disebut sebagai Perang Padri yang terjadi antara tahun 1803–1838.
Perpecahan terjadi akibat dorongan agamawan Islam (Kaum Padri) yang berniat menggantikan tradisi dan adat istiadat dengan syariat Islam. Tentunya ini merusak tatanan yang sudah melekat dengan masyarakat kebudayaan Minangkabau, bagi Kesultanan Pagaruyung (Kaum adat).
Namun kekuatan Kaum Padri begitu kuat, membuat Sultan Alam Bagagarsyah harus mengungsi ke Batavia (kini Jakarta). Melihat kondisi ini, Belanda yang telah memiliki koloni yang luas sebagai Hindia Belanda, membantu Kesultanan Pagaruyung menghadapi Kaum Padri.
Awalnya, pihak Belanda berniat untuk membebaskan Kesultanan Pagaruyung dari Kaum Padri dan berdalih untuk ‘menjadi rekan bisnis’. Nyatanya, Belanda berniat untuk menjadikan Kesultanan Pagaruyung sebagai kawasan jajahan.
Hal ini membuat Kaum Padri dan Kaum Adat bersatu. Diperkirakan pada periode inilah muncul istilah falsafah "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (adat bersandarkan syariat, syariat berdasarkan Alquran)" yang melekatkan antara ajaran Islam dan adat Minangkabau.
Pada akhirnya, kekuatan masyarakat Minangkabau tidak mampu mengalahkan kekuatan Belanda. Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada 1833 dengan tuduhan sebagai pengkhianat dan dibuang ke Batavia. Sejarah Kesultanan Pagaruyung yang awalnya berdaulat oleh masyarakat Minangkabau beralih di bawah penguasaan Belanda sejak saat itu.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR