Nationalgeographic.co.id—Masyarakat adat punya peran penting dalam pelestarian lingkungan. Mereka memiliki pengetahuan dan kedekatan dengan alam sekitarnya.
Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat adat dalam upaya konservasi merupakan hal yang krusial. Gagasan ini didukung ratifikasi PBB dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati (COP16) di Cali, Colombia pada Oktober 2024.
Biasanya, konservasi lingkungan yang melibatkan masyarakat adat masih mengandalkan pihak luar seperti pemerintah lokal atau LSM. Masyarakat adat hanya menjadi mitra yang mengikuti perencanaan manajemen konservasi yang dilakukan pihak luar.
Lain halnya dengan konservasi berbasis masyarakat adat yang memberikan wewenang terpusat kepada pihak pemegang adat secara langsung.
Salah satu negara yang menekankan konsep ini adalah Selandia Baru. Pada 2014, Pemerintah Selandia Baru bersama masyarakat Tuhoe--salah satu suku Maori--menyepakati perjanjian Te Urewera. Perjanjian ini memindahkan otoritas pengelolaan kawasan lindung Te Urewera dari Departemen Konservasi ke tangan Dewan Te Urewera (Te Urewera Board).
Status Taman Nasional Te Urewera pun berubah menjadi hutan hujan yang yang memiliki badan hukumnya sendiri. Pergantian ini menjadikan Te Urewera dilindungi berdasarkan ajaran adat istiadat Tuhoe.
Dengan berlandaskan ajaran adat, Te Urewera memiliki entitas hukum yang memiliki hak sejak 2014 dengan masyarakat Tuhoe sebagai wali atau atau katiaki (penjaga) independen. Hal ini menjadikan Te Urewera sebagai sumber daya alam pertama di dunia yang mendapatkan hak setara manusia.
Pengelolaan hutan konservasi Te Urewera oleh masyarakat Tuhoe
Te Urewera merupakan hutan hujan yang paling terpencil di Pulau Utara, Selandia Baru sekaligus rumah bagi flora, dan fauna. Lokasinya membentang dari Pelabuhan Ohiwa di bay of Plenty sampai Danau Waikaremoana. Di dalamnya terdapat Pegunungan Huiarau dan Ikawhenua.
Bagi masyarakat adat Tuhoe, hutan konservasi ini sakral bagai Yerusalem dan Mekah. Sejak 2008, mereka dilibatkan dalam upaya restorasi hutan hujan. Proyek yang diinisiasi pemerintah ini bertujuan untuk meningkatkan produksi oksigen, menyerap karbon, dan menjaga ekosistem keanekaragaman hayati.
Masyarakat Tuhoe tinggal di lingkungan Te Urewera sejak lama. Secara harfiah, Te Urewera didefinisikan sebagai Te Manawa o te Ika a Maui yang berarti "tempat jantung ikan besar Maui".
Baca Juga: Te Moana-nui-a-Kiwa, Kawasan 'Blue Carbon' Terbesar Dunia yang Dijaga Suku Maori
Bagi masyarakat Tuhoe, Te Urewera adalah tempat asal, berpulang, dan tanah air--diringkas dalam istilah ewe whenua. Pandangan filosofi itu membuat Perjanjian Te Urewera juga harus memberikan kebebasan hak kebudayaan dan identitas masyarakat Tuhoe yang tidak terlepas dari ekologi sekitarnya.
Secara pengelolaan, masyarakat Tuhoe melestarikan sistem ekologi dan keanekaragaman hayati hutan. Hal ini termasuk wewenang masyarakat Tuhoe memusnahkan spesies flora dan fauna asing, supaya pelestarian spesies asli tetap terjaga.
Dalam keyakinan masyarakat adat Tuhoe, dan bangsa Maori lainnya, pohon dan semua burung adalah anak dari Tane Mahuta. Dia adalah dewa hutan yang merupakan anak dari Ranginui (bapak langit) dan Papatuanuku (ibu bumi).
Karena hubungan alam dan dewata yang sangat lekat, maka hutan konservasi Te Urewera harus dimuliakan lewat pelbagai ritual. Misalnya, dalam penanaman pohon, masyarakat Tuhoe akan berdoa meminta petunjuk Tane Mahuta mengenai spesies pohon apa yang diperlukan dan lokasi
Pariwisata alam dengan pendekatan adat
Masyarakat luar bisa mengunjungi hutan Te Urewera karena masyarakat membuka akses pemanfaatan pariwisata. Wisatawan akan mendapatkan pengalaman wisata edukasi kebudayaan dan keanekaragaman hayati yang dikelola oleh masyarakat Tuhoe sendiri.
Pengelolaan pariwisata seperti ini berjalan sejak COVID-19. Masyarakat adat menyadari bahwa pariwisata semestinya tidak hanya sekadar menjadikan alam sebagai objek fotografi sosial media, melainkan harus menghargai semua yang ada di dalamnya.
"Alih-alih melihat alam sebagai sekumpulan sumber daya terpisah yang harus dikelola dan digunakan, kami meminta orang-orang untuk melihat Te Urewera sebagai sistem kehidupan yang diandalkan orang lain untuk bertahan hidup, budaya, rekreasi, dan inspirasi," kata Tamati Kruger, kepala suku Tuhoe, dikutip dari BBC.
"Ini tentang menghubungkan Te Urewera sebagai identitasnya sendiri dalam arti fisik, lingkungan, budaya, dan spiritual."
Wisatawan dapat tinggal di marae--kompleks berpargar yang merupakan tempat pertemuan masyarakat Maori tradisional--dan mengikuti upacara adat.
Pilihan lainnya, wisatawan dapat berkeliling hutan Te Urewera dengan pemandu lokal dengan mengikuti tata cara yang harus dipatuhi. Masyarakat Tuhoe akan menyambut hangat wisatawan dan dengan senang hati memperkenalkan ajaran adat istiadatnya dalam pelestarian lingkungan.
Te Urewera juga menyajikan pengalaman yang berbeda dari wisata kebudayaan lainnya, yaitu dari menikmati kuliner khas rumahan masyarakat Tuhoe hingga berburu dan menunggang kuda.
Baca Juga: Benteng Terakhir Moa di Selandia Baru Jadi Tempat Berlindungnya Burung yang Kini Terancam Punah
Dengan pengaturan pariwisata seperti ini, Kruger berharap bahwa pengunjung menghargai alam seperti masyarakat adat Tuhoe.
"Kunjungan akan mengubah cara berpikir dari yang mengatakan: ‘Saya sudah membayar biaya, saya ingin dilayani’, menjadi pola pikir: ‘Saya suka tempat ini, saya merasa terhubung dengannya. Sekarang, apa yang dapat saya lakukan untuk merawatnya?’," ujarnya di New Zealand Geographic.
Source | : | BBC,New Zealand Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR