Nationalgeographic.co.id—Kapan terakhir Anda melepaskan pandangan dan genggaman dari gawai cerdas?
Ratusan jam Anda menghabiskan waktu hanya untuk menggulirkan layar gawai cerdas. Membaca, menonton, berkomunikasi, bahkan membayar belanjaan pun sekarang menggunakan gawai cerdas. Hebat, bukan?
Gawai cerdas adalah ranah privasi. Memang betul, sebebas dan bagaimana cara menggunakannya tergantung diri sendiri. Namun, sadarkah Anda konsekuensi yang akan dihadapi kedepannya?
Tentu saja, ketika memutuskan untuk menggunakan sesuatu dan menjadikannya bagian dari hidup, mestilah ada konsekuensinya. Dalam hal ini, gawai cerdas. Dengan menggunakan gawai cerdas dalam jangka waktu yang lama, nyatanya akan menyebabkan kecanduan atau adiksi yang akan sulit dilepas dan dihentikan.
Tampaknya, informasi berupa edukasi dampak dari penggunaan gawai cerdas selalu muncul di mana-mana, terutama di jejaring sosial. Jejaring sosial memang jadi sasaran yang tepat untuk menyebarkan informasi ini. Namun sayangnya, hanya dianggap angin lalu.
Pernah mendengar istilah ‘brain rot’ sebelumnya? Istilah ini acap kali dikaitkan dengan penggunaan gawai cerdas secara berlebihan. Brain rot yang merupakan istilah asing dari bahasa Inggris diartikan sebagai otak busuk. Pertama kali diperkenalkan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya pada tahun 1854.
Brain rot menjadi kata populer yang selalu disangkut pautkan dengan generasi Z atau generasi Alpha yang kecanduan gawai cerdas dan jejaring sosial.
Istilah otak busuk ini digunakan untuk menggambarkan keadaan di mana menurunnya kualitas atau kapasitas intelektual seseorang akibat konsumsi berlebih konten-konten pendek di jejaring sosial.
Atau mungkin Anda pernah mendengar istilah lain seperti popcorn brain? Yang juga berasal dari bahasa Inggris. Disebut popcorn brain karena di mana otak tidak fokus sehingga ketika melakukan sesuatu, otak dan tindakan tidak sinkron layaknya popcorn yang meletup-letup. Secara sederhana, popcorn brain dapat diartikan ketika seseorang tidak fokus, dan perhatiannya mudah teralihkan akibat atensi berlebihan pada gawai dan jejaring sosial.
Kedua istilah tersebut memiliki konteks yang hampir sama, bukan? Kembali ke brain rot, dengan menggunakan kata ‘busuk’, hal ini sebenarnya hanya kiasan atau berdasarkan fakta?
Keya Ding dan timnya dalam jurnal Healthcare (Switzerland) tahun 2024 melalui hasil studinya mengungkapkan, bahwa terdapat kaitan kognitif dan struktural otak akibat kecanduan digital.
Baca Juga: Apa yang Terjadi jika Otak Kita 'Beristirahat' dari Media Sosial?
Artikel berjudul, “The effects of digital addiction on brain function & structure of children and adolescents: a scoping review” menyebutkan bahwa penggunaan gawai cerdas pintar secara berlebihan dapat menurunkan volume di bagian nukleus kaudatus dan otak kecil. Kedua bagian otak ini yang mengatur keterampilan kognitif dan aktivitas sensorimotor.
“Salah satu bagian otak yakni korteks cingulate posterior, yang kerjanya mengatur ingatan atau memori manusia akan mengalami gangguan akibat dari kecanduan digital,” tulis Keya Ding dalam artikelnya. Ia menjelaskan bahwa terganggunya bagian otak ini memicu perilaku kompulsif (bersifat mendorong) yang hampir sama dengan kecanduan alkohol ataupun kokain.
Itulah tanpa Anda sadari, ketika terlalu lama tenggelam dalam gawai cerdas dan sibuk menggulirkan layar dalam jangka panjang akan membuat Anda sering melupakan sesuatu yang penting, baik di dunia nyata maupun digital.
Bagian otak yang paling rentan terpengaruh akibat kecanduan digital yakni lobus prefrontal. Di mana, lobus prefrontal ini tugasnya mengontrol kemampuan kognitif manusia dan pemrosesan emosional.
Namun, apa sebenarnya kecanduan gawai cerdas ini dapat dikategorikan sebagai ‘kecanduan’? Kajian lain yang diterbitkan di Journal of Behavioral Addictions menjabarkan apakah perilaku kecanduan gawai cerdas memang dapat dikatakan ‘kecanduan’ ? Tanpa melupakan dampak nyata dari kecanduan, perilaku atensi berlebih pada gawai cerdas ternyata tidak bisa disebut sebagai ‘kecanduan’ berdasarkan kriterianya.
Kajian bertajuk, “Is Smartphone Addiction really an Addiction?” oleh Tayana Povana dan Xavier Carbonell menyebutkan bahwa definisi kecanduan memiliki beragam kriteria pengukurannya. “Bagi sebagian besar pengguna gawai cerdas, setelah jangka waktu tertentu, menjadikan gawai cerdas sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari, sehingga ketika gawai cerdas tidak berada di tangannya akan membuat tidak nyaman atau membuat stress,” tulis Tayana. Dia menambahkan bahwa perilaku atau reaksi stress ini merupakan hal normal, karena biasanya gawai cerdas berisi informasi pribadi yang bersifat sensitif atau privasi. Sehingga pemicu utama munculnya perilaku stress ini karena takutnya gawai cerdas mereka akan dibuka, dibaca, hingga dicuri oleh orang lain.
Faktanya, kecanduan gawai cerdas tidak menyebabkan masalah klinis, namun memang akan berdampak pada fungsi kognitif di dalam otak. Seperti yang diketahui, fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk menerima dan mengolah informasi di dalam otak. Ibaratnya adalah kemampuan otak yang paling dasar. Coba bayangkan, kemampuan dasar manusia terganggu, kira-kira apa yang akan terjadi?
Kemampuan kognitif itu adalah bagaimana otak akan bekerja ketika menerima ‘sesuatu’. Ketika mata melihat, maka otak akan mulai memproses benda apa itu? Dalam hal ini disebut sebagai persepsi. Lalu, otak akan mulai mengingat pernahkah Anda melihat benda itu atau bahkan pernah menyentuhnya. Setelah mengolah informasi di dalam otak, barulah Anda akan mengucapkan apa yang sudah tersimpan di dalam otak.
Sekali lagi, hal sesederhana itu bisa terganggu akibat sebuah gawai cerdas, yang sebenarnya diciptakan untuk membantu Anda. Namun, malah menjadi bumerang yang balik menyerang Anda ketika menggunakannya berlebihan.
Sepele ya? Tetapi bisa menjadi fatal apabila kehilangan kendali.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR