Umumnya di Blitar, para penombak yang bertugas menombak macan disebut juga para gandek. Para gandek memiliki risiko yang sangat tinggi. Sampai satu kali di tahun 1894, suatu peristiwa yang mendebarkan terjadi.
Saat para gandek upaya menghunuskan bambu runcing pada harimau yang tepat berada di depannya, bambu runcing itu meleset, membuat harimau melesat meloloskan dirinya hingga masuk ke areal penonton.
Ratusan penonton yang semula beriuh-riuh kegirangan karena adegan tombak-menombak macan menegangkan, berubah semakin mencekam. Para penonton sontak lari kocar-kacir berhamburan.
Harimau yang besar dan gagah itu mengaum ke arah penonton yang lari panik ketakutan. Seorang sejarawan, R. Kartawibawa dalam bukunya Bakda Mawi Rampog terbitan 1923, menggambarkannya secara dramatis.
Dengan tubuh harimau yang mengucurkan darah segar akibat goresan bambu runcing, mulut harimau yang terbuka setengah dengan nafasnya terengah-engah, seperti siap menyergah siapa pun yang berada di dekatnya.
Banyak di antara istri terpisah dari gandengan suaminya, atau seorang anak terpisah dengan orang tuanya, hingga yang lebih parah, ada juga yang orang jatuh terkapar hingga terinjak-injak.
Para pedagang yang tengah menjajakan dagangannya hanya bisa melongo melihat dagangannya diterjang orang-orang yang ngibrit tak tentu arah, berlari menghindar sejauh-jauhnya.
Namun, tak dijelaskan lebih lanjut berapa banyak jumlah korban jiwa dari tragedi mencekam yang terjadi pada tahun 1894 silam.
Memasuki tahun 1901, Sir Stamford Raffles yang mulai menguasai Jawa, melarang tradisi rampogan. Menurut Raffles, "kegiatan ini dianggap dapat merusak kehidupan macan, sehingga membuat habitatnya semakin punah," imbuh Nirmala.
Nilai-nilai di balik tradisi ini sejatinya mengandung spirit melawan imperialisme di Tanah Indies. Hunusan tombak dan bambu runcing kepada harimau adalah lampiasan kemurkaan rakyat untuk melawan kekuasaan kolonialis Belanda di Blitar.
Namun, pada tahun 1923, tradisi Rampogan Macan perlahan mulai menghilang dari wilayah Jawa Timur. Arena pembantaian harimau di alun-alun Blitar dan Kediri tidak lagi digelar.
Source | : | Digital Library ISI Surakarta,Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR