Nationalgeographic.grid.id—Sebuah karya lukis menarik dibuat seorang ilmuwan cum naturalis, Franz Wilhelm Junghuhn tentang harimau yang dipertontonkan di tengah orang-orang yang riuh ramai. Ada sebuah festival!
Ya, Junghuhn merupakan seorang ilmuwan yang sangat gemar beravontur. Ia menerjang perbukitan, masuk desa, menyeberangi sungai dan rawa, hingga mendaki gunung. Dalam satu kesempatan, ia sampai pada alun-alun Surakarta, dan merekam satu tradisi lain.
Junghuhn menggambarkan keramaian itu, di mana dirinya menyebut festival penombakan macan dengan nama Volkfeest Rampok atau Festival Rakyat Rampok. Ia mengkritisinya dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië tentang festival ini.
"Sebuah festival rakyat di mana harimau atau macan kumbang, diiringi musik gamelan, dipojokkan dan digantung pada tombak," tulis Lex Veldhoen kepada Historiek dalam artikelnya Franz Junghuhn, de ‘Humboldt van Java’, terbitan 18 November 2024.
Tradisi yang digambarkan Junghuhn sudah berlangsung sangat lama di Blitar. Sepanjang historinya, tradisi ini juga mengalami pasang surut dalam perjalanannya.
Dalam tugas akhir karya Nirmala Agustianingsih yang dipertahankan kepada ISI Surakarta berjudul Tradisi Rampogan Macan Di Blitar Dengan Visualisasi Wayang Beber Sebagai Ide Penciptaan Busana Pesta (2018), tradisi ini dikenal dengan Rampogan Macan.
Jika Junghuhn menulisnya rampok, sejatinya di Blitar disebut rampog. Rampogan berasal dari kata rampog yang sering diartikan sebagai rayahan atau rebutan, di mana ratusan orang berebut untuk membunuh harimau atau macan menggunakan tombak.
Nirmala melakukan wawancaranya dengan Rahardi, seorang seniman Blitar. Menurut Rahardi, kali pertama diselenggarakannya Rampogan Macan, dipertunjukkan untuk menjamu para tamu Keraton Surakarta Hadiningrat.
Pelaksanaan festival Rampogan Macan selama terselenggara di Keraton Surakarta, diadakan di alun-alun. Para prajurit dengan tombaknya diperintahkan untuk menombak macan. Adegan ini dipertontonkan untuk umum di alun-alun utama Blitar.
Lain di Surakarta, di Blitar, tradisi Rampogan diselenggarakan pada hari raya Idul Fitri. Tujuannya untuk menghibur masyarakat, seperti halnya pesta rakyat. Berbeda dengan di keraton, di Blitar menggunakan bambu runcing sebagai tombaknya.
Menariknya, acara berlangsung lebih seru dan menegangkan, pasalnya rakyat sipil tidak dibekali kemampuan untuk menobak atau mempergunakan bambu runcing untuk menyergah sang macan. Berbeda dengan prajurit keraton yang sudah terlatih menombak.
Baca Juga: Dunia Hewan: Mengapa Tidak Semua Binatang Bisa Dijinakkan Manusia?
Umumnya di Blitar, para penombak yang bertugas menombak macan disebut juga para gandek. Para gandek memiliki risiko yang sangat tinggi. Sampai satu kali di tahun 1894, suatu peristiwa yang mendebarkan terjadi.
Saat para gandek upaya menghunuskan bambu runcing pada harimau yang tepat berada di depannya, bambu runcing itu meleset, membuat harimau melesat meloloskan dirinya hingga masuk ke areal penonton.
Ratusan penonton yang semula beriuh-riuh kegirangan karena adegan tombak-menombak macan menegangkan, berubah semakin mencekam. Para penonton sontak lari kocar-kacir berhamburan.
Harimau yang besar dan gagah itu mengaum ke arah penonton yang lari panik ketakutan. Seorang sejarawan, R. Kartawibawa dalam bukunya Bakda Mawi Rampog terbitan 1923, menggambarkannya secara dramatis.
Dengan tubuh harimau yang mengucurkan darah segar akibat goresan bambu runcing, mulut harimau yang terbuka setengah dengan nafasnya terengah-engah, seperti siap menyergah siapa pun yang berada di dekatnya.
Banyak di antara istri terpisah dari gandengan suaminya, atau seorang anak terpisah dengan orang tuanya, hingga yang lebih parah, ada juga yang orang jatuh terkapar hingga terinjak-injak.
Para pedagang yang tengah menjajakan dagangannya hanya bisa melongo melihat dagangannya diterjang orang-orang yang ngibrit tak tentu arah, berlari menghindar sejauh-jauhnya.
Namun, tak dijelaskan lebih lanjut berapa banyak jumlah korban jiwa dari tragedi mencekam yang terjadi pada tahun 1894 silam.
Memasuki tahun 1901, Sir Stamford Raffles yang mulai menguasai Jawa, melarang tradisi rampogan. Menurut Raffles, "kegiatan ini dianggap dapat merusak kehidupan macan, sehingga membuat habitatnya semakin punah," imbuh Nirmala.
Nilai-nilai di balik tradisi ini sejatinya mengandung spirit melawan imperialisme di Tanah Indies. Hunusan tombak dan bambu runcing kepada harimau adalah lampiasan kemurkaan rakyat untuk melawan kekuasaan kolonialis Belanda di Blitar.
Namun, pada tahun 1923, tradisi Rampogan Macan perlahan mulai menghilang dari wilayah Jawa Timur. Arena pembantaian harimau di alun-alun Blitar dan Kediri tidak lagi digelar.
Source | : | Digital Library ISI Surakarta,Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR