Nationalgeographic.co.id—Pada hari Sabtu, 25 Januari 2025, Belantara Foundation mengadakan acara peresmian menara pantau gajah liar dan penyerahan sumbangan peralatan mitigasi konflik manusia-gajah kepada masyarakat di Desa Jadi Mulya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Acara ini merupakan bagian dari program "Living in Harmony" (Kita Bisa Hidup Berdampingan) yang diinisiasi oleh Belantara Foundation sejak tahun 2022. Program ini bertujuan untuk mendorong hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dan gajah liar di Lanskap Padang Sugihan, Kabupaten OKI.
Program yang telah berjalan selama kurang lebih 3 tahun ini didukung oleh pendanaan dari Keidanren Nature Conservation Fund (KNCF) Jepang. Belantara Foundation juga menggandeng berbagai pihak, antara lain Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa (PJHS), Rumah Sriksetra, Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, serta pemangku kepentingan lainnya seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, perusahaan pemegang konsesi kehutanan, dan Pemerintah Desa Jadi Mulya.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, menyampaikan bahwa Lanskap Padang Sugihan merupakan salah satu habitat penting gajah di Pulau Sumatera. Kelompok gajah di wilayah ini memiliki populasi yang berpotensi untuk mendukung pelestarian gajah sumatera dalam jangka panjang.
“Oleh karena itu, program konservasi gajah sumatra di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, yang kami lakukan bersama para mitra berfokus pada tiga aspek, yaitu pelatihan mitigasi konflik manusia-gajah, penyadartahuan dan edukasi kepada anak-anak mengenai pelestarian gajah dan ekosistemnya, serta penanaman pakan gajah dan penggaraman tanah untuk memenuhi kebutuhan minaral yang menjadi nutrisi tambahan bagi gajah”, ujar Dolly, yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan.
Dalam hal mitigasi konflik, Belantara Foundation melatih 75 warga dari lima desa (Jadi Mulya, Simpang Heran, Banyu Biru, Sri Jaya Baru, dan Suka Mulya) untuk menangani konflik gajah secara mandiri. Pelatihan ini bertujuan agar masyarakat dapat mengambil tindakan awal sebelum petugas berwenang tiba. Saat ini, sudah terbentuk tiga kelompok masyarakat yang bertugas sebagai tim mitigasi konflik di Desa Jadi Mulya, Simpang Heran, dan Banyu Biru.
Selain pelatihan, Belantara Foundation juga membangun dua menara pantau gajah di Desa Jadi Mulya dan Simpang Heran. Menara ini berfungsi sebagai sarana pendukung dalam mitigasi konflik manusia-gajah. Yayasan ini juga menyumbangkan enam unit Handy Talkie, satu unit teropong, 31 unit meriam karbit portabel, dan 31 unit senter untuk membantu masyarakat dalam mengelola interaksi dengan gajah.
Di bidang penyadartahuan dan pendidikan, Belantara Foundation menggunakan pendekatan yang unik dengan melibatkan pendongeng. Mereka mengadakan kegiatan penyadartahuan dan edukasi tentang pentingnya hidup harmonis antara manusia dan gajah sumatra melalui dongeng menarik. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 400 siswa dan 60 guru dari tujuh sekolah dasar di lima desa di Kabupaten OKI. Sebagai tindak lanjut, Belantara Foundation menyusun buku modul kurikulum muatan lokal untuk siswa kelas 4-6 tentang pelestarian gajah sumatra dan habitatnya.
Aspek ketiga yang menjadi fokus Belantara Foundation adalah menyediakan tempat menggaram bagi gajah liar di beberapa koridor ekologis di Lanskap Padang Sugihan. Tempat menggaram artifisial ini penting bagi gajah sumatra untuk memenuhi kebutuhan mineral mereka. Dengan adanya tempat menggaram, diharapkan gajah akan tetap berada di dalam koridor dan tidak masuk ke permukiman masyarakat.
Untuk memantau aktivitas gajah di sekitar tempat menggaram, Belantara Foundation memasang delapan unit kamera jebak. Selain itu, mereka juga menanam tanaman sereh wangi di lahan seluas 2 hektar di pinggir desa. Tanaman ini diharapkan dapat menjadi penghalang alami bagi gajah, karena aroma sereh wangi tidak disukai oleh mereka.
Baca Juga: Mengedukasi Generasi Muda soal Pentingnya Hidup Harmonis dengan Satwa Liar
“Kami akan terus mendorong dan mengajak para pihak yang lebih luas lagi, seperti pemerintah, sektor swasta, dan media, untuk bahu-membahu dan berkontribusi pada program mitigasi konflik manusia-gajah. Kami berharap program ini dapat memperkuat program konservasi gajah yang telah dilakukan pemerintah sehingga dapat tercipta harmonisasi dan koeksistensi antara manusia dengan gajah di Lanskap Padang Sugihan, Kabupaten OKI, Sumatra Selatan”, tandas Dolly.
Pada waktu yang sama, Polisi Hutan Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Sumatera Selatan, Bapak Ruswanto mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik dan mengapresiasi program yang dijalankan Belantara Foundation dan para mitra dalam upaya mitigasi konflik manusia-gajah di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. “Menara pantau gajah yang didirikan serta sumbangan peralatan pendukung mitigasi konflik akan dapat menguatkan sarana dan prasarana serta kesiapan masyarakat desa dalam mengatasi interaksi negatif manusia dengan gajah liar”, ujar Ruswanto.
Lebih lanjut, Ruswanto menegaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, gajah sumatra termasuk ke dalam satwa liar dilindungi. Menurut The International Union for Conservation of Nature's Red List of Threatened Species (IUCN), saat ini gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) berstatus Critically Endangered (kritis).
“Inisiatif Belantara Foundation dan para mitra ini sangat bagus dan kami berharap program konservasi gajah yang ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi konflik manusia-gajah yang ada di Provinsi Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten OKI”, tutup Ruswanto.
Sementara itu, Kepala Desa yang diwakilkan oleh Sekretaris Desa Jadi Mulya, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, Heryanto, S.IP., menjelaskan bahwa warga Desa Jadi Mulya merupakan masyarakat transmigrasi yang diprogramkan pemerintah pada 1983 dan pada tahun tersebut belum pernah terjadi konflik antara masyarakat dengan gajah. Hal ini karena pada saat itu gajah sudah digiring ke wilayah selatan lanskap oleh pemerintah melalui Operasi Ganesha.
Setelah kebakaran hutan yang amat hebat pada 1991 dan 1997, konflik antara masyarakat dengan gajah mulai terjadi karena gajah-gajah yang digiring ke selatan tersebut kembali. Pasca kebakaran hutan di 2015, gajah-gajah liar mulai sering masuk ke area persawahan maupun pemukiman masyarakat terutama pada saat musim tanam padi yang mengakibatkan kerusakan pada area tersebut sehingga masyarakat banyak mengalami kerugian.
“Dengan adanya dukungan dari Belantara Foundation bersama para mitra berupa pembangunan menara pantau gajah serta pendampingan yang konsisten dan berkelanjutan, kami telah mendapatkan banyak sekali manfaat”, ujar Heryanto.
"Manfaat tersebut antara lain menara pantau gajah ini lokasinya diujung desa dan tepat di lokasi keluar-masuk gajah dari hutan ke pemukiman, jadi akan memudahkan bagi tim mitigasi konflik dalam mendeteksi kehadiran gajah saat gajah masih jauh dari batas desa. Jadi kami bisa menghalau gajah-gajah kembali ke hutan sebelum mereka masuk ke wilayah pemukiman masyarakat."
Selain itu, ada manfaat lain berupa peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk melakukan mitigasi konflik dengan gajah yang masuk ke desa kami sehingga memungkinkan kami hidup berdampingan secara harmonis dengan gajah.
Heryanto berharap, melalui kerja sama dan dukungan para pihak termasuk Belantara Foundation, masyarakat dapat hidup dan bertani dengan tenang, perusahaan-perusahaan dapat berjalan, serta gajah-gajah liar dapat terlestarikan, sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama yaitu hidup harmonis berdampingan antara masyarakat dengan gajah sumatra dapat terwujud secara berkelanjutan.
Baca Juga: Belantara Foundation Gelar Webinar Internasional Ekowisata Satwa Liar
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR