“Kami akan terus mendorong dan mengajak para pihak yang lebih luas lagi, seperti pemerintah, sektor swasta, dan media, untuk bahu-membahu dan berkontribusi pada program mitigasi konflik manusia-gajah. Kami berharap program ini dapat memperkuat program konservasi gajah yang telah dilakukan pemerintah sehingga dapat tercipta harmonisasi dan koeksistensi antara manusia dengan gajah di Lanskap Padang Sugihan, Kabupaten OKI, Sumatra Selatan”, tandas Dolly.
Pada waktu yang sama, Polisi Hutan Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Sumatera Selatan, Bapak Ruswanto mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik dan mengapresiasi program yang dijalankan Belantara Foundation dan para mitra dalam upaya mitigasi konflik manusia-gajah di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. “Menara pantau gajah yang didirikan serta sumbangan peralatan pendukung mitigasi konflik akan dapat menguatkan sarana dan prasarana serta kesiapan masyarakat desa dalam mengatasi interaksi negatif manusia dengan gajah liar”, ujar Ruswanto.
Lebih lanjut, Ruswanto menegaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, gajah sumatra termasuk ke dalam satwa liar dilindungi. Menurut The International Union for Conservation of Nature's Red List of Threatened Species (IUCN), saat ini gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) berstatus Critically Endangered (kritis).
“Inisiatif Belantara Foundation dan para mitra ini sangat bagus dan kami berharap program konservasi gajah yang ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi konflik manusia-gajah yang ada di Provinsi Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten OKI”, tutup Ruswanto.
Sementara itu, Kepala Desa yang diwakilkan oleh Sekretaris Desa Jadi Mulya, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, Heryanto, S.IP., menjelaskan bahwa warga Desa Jadi Mulya merupakan masyarakat transmigrasi yang diprogramkan pemerintah pada 1983 dan pada tahun tersebut belum pernah terjadi konflik antara masyarakat dengan gajah. Hal ini karena pada saat itu gajah sudah digiring ke wilayah selatan lanskap oleh pemerintah melalui Operasi Ganesha.
Setelah kebakaran hutan yang amat hebat pada 1991 dan 1997, konflik antara masyarakat dengan gajah mulai terjadi karena gajah-gajah yang digiring ke selatan tersebut kembali. Pasca kebakaran hutan di 2015, gajah-gajah liar mulai sering masuk ke area persawahan maupun pemukiman masyarakat terutama pada saat musim tanam padi yang mengakibatkan kerusakan pada area tersebut sehingga masyarakat banyak mengalami kerugian.
“Dengan adanya dukungan dari Belantara Foundation bersama para mitra berupa pembangunan menara pantau gajah serta pendampingan yang konsisten dan berkelanjutan, kami telah mendapatkan banyak sekali manfaat”, ujar Heryanto.
"Manfaat tersebut antara lain menara pantau gajah ini lokasinya diujung desa dan tepat di lokasi keluar-masuk gajah dari hutan ke pemukiman, jadi akan memudahkan bagi tim mitigasi konflik dalam mendeteksi kehadiran gajah saat gajah masih jauh dari batas desa. Jadi kami bisa menghalau gajah-gajah kembali ke hutan sebelum mereka masuk ke wilayah pemukiman masyarakat."
Selain itu, ada manfaat lain berupa peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk melakukan mitigasi konflik dengan gajah yang masuk ke desa kami sehingga memungkinkan kami hidup berdampingan secara harmonis dengan gajah.
Heryanto berharap, melalui kerja sama dan dukungan para pihak termasuk Belantara Foundation, masyarakat dapat hidup dan bertani dengan tenang, perusahaan-perusahaan dapat berjalan, serta gajah-gajah liar dapat terlestarikan, sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama yaitu hidup harmonis berdampingan antara masyarakat dengan gajah sumatra dapat terwujud secara berkelanjutan.
Baca Juga: Belantara Foundation Gelar Webinar Internasional Ekowisata Satwa Liar
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR