Oleh Altafrea Laudzai dari SMA Negeri 8 Yogyakarta
Nationalgeographic.co.id—Di pagi hari yang sangat cerah, kendaraan-kendaraan mulai memenuhi jalanan. Di antara kendaraan- kendaraan tersebut, ada satu bus yang mencuri perhatian, bus tersebut melaju dengan penuh percaya diri. Ia melaju dengan kecepatan penuh, menuju tempat di mana banyak orang menunggu dirinya dengan sabar, menunggu diantarkan olehnya ke tempat yang mereka ingin tuju.
Bus ini mencuri perhatian bukan hanya karena jasanya, tetapi juga karena asap hitam yang mengepul dari knalpotnya. Bus itu dijuluki “Wedhus Gembel”, istilah ini merujuk kepada kepulan asap yang tebal dan pekat, seolah-olah melambangkan sebuah fenomena alam yang berbahaya. Asap yang dihasilkan oleh bus ini bukan sekedar gangguan bagi mata yang melihat atau hidung yang mencium. Namun, ia adalah sumber masalah yang lebih besar, yaitu masalah polusi udara yang mengancam penduduk kota.
Setiap kali bus ‘Wedhus Gembel’ ini melintas, ia meninggalkan awan hitam yang menggelapkan langit biru. Knalpotnya yang mengeluarkan asap layaknya monster yang setiap hari menghembuskan asap jahat. Asap hitamnya menyelimuti mobil dan sepeda motor di belakangnya, menciptakan kabut yang mengganggu pemandangan, para pejalan kaki menutup hidung berusaha menghindar, tetapi sulit untuk melarikan diri dari kehadirannya.
Bayangkan sejenak, Anda berdiri di halte bus, menunggu dengan penuh kesabaran. Suara klakson dan deru dari mesin kendaraan lain memenuhi udara di sekitar anda. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara khas bus mendekat. Begitu bus itu tiba, kepulan asap pekat menyelimuti area di sekitarnya, mengaburkan pandangan dan mengganggu pernapasan. Dalam hati, muncul rasa kesal dan khawatir, mengapa bus ini tidak dapat beroperasi dengan lebih bersih? Mengapa mereka tidak mengganti knalpotnya? Bukankan asap hitam yang berasal dari knalpot disebabkan oleh knalpot yang sudah rusak?
Asap hitam dari knalpot bus ‘Wedhus Gembel’ biasanya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna, yang dapat terjadi karena kualitas bahan bakar, sistem injeksi, filter udara kotor, dan kondisi mesin yang buruk. Knalpot yang sudah rusak seringkali masih dipakai oleh bus. Akibatnya, penggunaan knalpot rusak menyebabkan suara bising dan emisi yang lebih tinggi, berdampak negatif pada lingkungan dan kenyamanan penumpang.
Bayangkan seorang ibu yang membawa anaknya berjalan-jalan di pinggir jalan raya. Setiap kali bus ‘Wedhus Gembel’ melintas, rasa cemas menyelimuti pikirannya “Bagaimana jika asap itu membuat anakku sakit?”. Sebagai seorang orang tua, ia ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya, namun ia juga harus menghadapi kenyataan bahwa lingkungan tidak selalu mendukung kesehatan. Rasa khawatir itu kian mendalam ketika ia menyaksikan kepulan asap hitam yang keluar dari knalpot bus, merusak udara bersih yang seharusnya dinikmati oleh manusia.
Kepulan asap ini terbuat dari campuran berbagai gas berbahaya seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, benzema, dan partikel-partikel halus yang siap menyusup paru-paru bagi siapa pun yang bernafas di dekatnya. Seakan-akan bus ini memiliki misi untuk menyebarkan polusi di sepanjang rutenya, dari satu halte ke halte lainnya. Setiap kepulan asap yang dihasilkan dapat memicu berbagai masalah kesehatan.
Penelitian menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap polusi udara dapat menyebabkan penyakit pernapasan, gangguan jantung, dan bahkan kanker. Para ilmuwan menyebutkan bahwa anak-anak dan orang tua adalah kelompok paling rentan. Kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan serangan asma yang lebih sering, serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Polusi udara juga berdampak pada lingkungan secara keseluruhan. Tanah dan air yang tercemar oleh zat-zat berbahaya dapat mempengaruhi pertanian dan ekosistem lokal. Pepohonan yang seharusnya menyeram karbon dioksida dan oksigen, justru terpaksa berjuang melawan polusi yang semakin meningkat.
Jejak hitam yang ditinggalkan bus "wedhus gembel" tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat dan lingkungan saja, tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim. Setiap ton emisi karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer menjadi beban bagi lingkungan. Gas rumah kaca ini bertindak seperti selimut yang menahan panas, menyebabkan suhu bumi meningkat dan cuaca semakin tidak menentu.
Baca Juga: Jepang Berhasil Ciptakan Plastik yang Terurai di Laut, Tapi Tetap Kuat
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR