Nationalgeographic.co.id—Setelah sempat berhenti lebih dari 10 tahun, wacana diskusi tentang Situs Gunung Padang kembali dikemukakan. Bahkan, muncul rencana untuk kembali melanjutkan penelitan terkait situs yang terletak di Cianjur, Jawa Barat, tersebut.
Hal tersebut mengemuka dalam acara diskusi publik "Melihat Kembali Nilai-nilai Penting Cagar Budaya Nasional Gunung Padang: Suatu Upaya Pelestarian Cagar Budaya Berkelanjutan" yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (12/2/2024).
Diskusi ini menghadirkan enam orang pembicara, yaitu Dr. Junus Satrio Atmodjo, Dr. Taqyuddin, Prof. Sutikno Bronto, Prof. Danny Hilman, Dr. Lutfi Yondri, serta Dr. Ali Akbar.
Keenamnya membahas secara mendalam tentang polemik terkait Situs Gunung Padang. Khususnya menyangkut hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2023 yang menimbulkan kontroversi.
Menanggapi kontroversi tersebut, Direktur Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan Dr. Restu Gunawan menilai bahwa polemik itu merupakan hal yang wajar dalam kebudayaan. Hal itulah yang menurutnya bisa membuat acara diskusi ini menarik untuk diikuti.
Hal senada disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon justru menyambut baik polemik yang ada. Sebab, menurutnya, polemik bisa menghadirkan sesuatu yang baru. "Justru yang bingung itu kalau tidak ada polemik," papar Fadli saat membuka acara diskusi tersebut.
Pria yang lahir di Jakarta 53 tahun silam itu menyadari bahwa Situs Gunung Padang masih menimbulkan tanda tanya besar hingga saat ini.
Namun, hal inilah yang menurut Fadli justru menghadirkan tantangan besar bagi para arkeolog dan sejarawan untuk mengungkap fungsi dan wujud asli dari situs megalitik terbesar di Asia Tenggara itu.
Terlebih, doktor di bidang ilmu sejarah ini mayakini bahwa Indonesai mewarisi peradaban tertua di dunia. "Sebagai politisi saya berani mengeklaim itu," ujarnya seraya merujuk pada data bahwa 50-60 persen Homo Erectus yang ada di dunia justru ditemukan di Indonesia.
Lebih lanjut, Fadli kemudian menekankan pandangannya terhadap peninggalan-peninggalan yang ada di Indonesia, yang tidak hanya banyak, tapi juga terdistribusi dengan sangat luas. "Saya yakin suatu saat akan ada penemuan lain yang mencengangkan," papar Fadli penuh keyakinan.
Baca Juga: Kata Ahli Soal Klaim Peradaban Maju Gunung Padang: Sangat Meragukan!
Kontroversi usia Gunung Padang
Seperti diketahui, pada 2013, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menerbitkan laporan dalam jurnal Archaeological Prospection, melalui artikel berjudul "Geo-Archaeological Prospecting of Gunung Padang Buried Prehistoric Pyramid in West Java".
Laporan ini mengeklaim bahwa Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, bukanlah bukit alami, melainkan sebuah konstruksi piramida yang berpotensi menjadi piramida tertua di dunia.
Peneliti BRIN, Danny Hilman Natawidjaja, menyatakan bahwa konstruksi tertua Gunung Padang kemungkinan berasal dari bukit lava alami yang dipahat dan diselimuti secara arsitektural pada periode glasial terakhir, antara 25.000 hingga 14.000 SM.
Jika klaim ini benar, Gunung Padang akan menjadi situs tertua di dunia, jauh melebihi Stonehenge, piramida Mesir, dan situs Göbekli Tepe di Turki yang berusia sekitar 11.000 tahun. Situs Gunung Padang sendiri berada di ketinggian 914 meter di atas permukaan laut dan terdiri dari teras batu di puncak gunung berapi purba.
Namun, klaim ini segera menuai kritik dari sejumlah arkeolog dunia.
Mereka menilai bahwa laporan BRIN tersebut kekurangan bukti arkeologis yang kuat untuk mendukung klaim usia kuno Gunung Padang.
Arkeolog seperti Flint Dibble dari Cardiff University dan Bill Farley dari Southern Connecticut State University, menyatakan bahwa data yang disajikan dalam laporan tersebut tidak cukup memadai untuk menyimpulkan bahwa situs tersebut berusia sangat tua.
Mereka juga menyoroti bahwa permukiman di sekitar Gunung Padang baru diperkirakan berusia 6.000 hingga 7.000 tahun.
Para arkeolog skeptis berpendapat bahwa sampel yang diuji oleh peneliti BRIN mungkin memang berusia 20.000 tahun atau lebih, tetapi itu bisa jadi berasal dari karbon alami dalam tanah, bukan bukti struktur buatan manusia.
Mereka menekankan bahwa tidak ada bukti keberadaan manusia purba di lokasi tersebut, seperti artefak atau tulang. Bahkan, seorang ahli geologi, Marc Defant, mengkritik laporan tersebut karena dianggap memunculkan mitos dan khayalan terhadap situs arkeologi.
Baca Juga: Batuan Gunung Padang: Berkat Vulkanik Gunung Purba dan Sesar Cimandiri
Meskipun pecahan tembikar di Gunung Padang menunjukkan usia beberapa ribu tahun, peneliti BRIN berpendapat bahwa situs ini mengalami beberapa fase pembangunan.
Pembangunan awal diperkirakan terjadi antara 25.000-14.000 SM, kemudian situs ini terlantar ribuan tahun sebelum pembangunan dilanjutkan pada 7900–6100 SM, dan berlanjut hingga 2000–1100 SM. Kontroversi ini terus berlanjut di kalangan arkeolog dan ilmuwan terkait.
Riset dilanjutkan
Perdebatan inilah yang pada akhirnya membuat Fadli Zon, masih dalam acara diskusi yang sama, mendorong untuk dilanjutkannya riset tentang situs Gunung Padang.
Bahkan jika diperlukan, menurut Fadli, bisa saja penelitian tersebut merupakan sebuah kolaborasi yang melibatkan banyak lembaga dan para ahli.
Termasuk di dalamnya membuka diri untuk keterlibatan ahli-ahli atau lembaga-lembaga dari luar negeri. Khususnya mereka yang ingin melakukan riset terhadap untuk mengetahui usia pasti dari situs tersebut.
Hal inilah, bagi Fadli, yang perlu dilakukan demi bisa melengkapi informasi tentang situs megalitik Gunung Padang.
"Semoga pertemuan ini menjadi awal dari sebuah upaya kita kembali menjawab apa yang menjadi warisan budaya kita, sehingga kita bisa melakukan intervensi sesuatu dengan kehadiran kementerian kebudayaan di RI ini," pungkas Fadli menutup sambutannya.
KOMENTAR